Terjemahan cerita SHERLOCK HOLMES (A STUDY IN SCARLET)
Penelusuran Benang Merah
A STUDY IN SCARLET
by Sir Arthur Conan Doyle
BAGIAN 1:
Penelusuran Ulang Kenangan John H. Watson, M.D., Pensiunan Departemen Kesehatan Angkatan Perang
Daftar Isi
Bab 1 MR. SHERLOCK HOLMES
Bab 2 KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Bab 3 MISTERI LAURISTON GARDEN
Bab 4 APA YANG HARUS DICERITAKAN OLEH JOHN RANCE
Bab 5 IKLAN KAMI MENGUNDANG PENGUNJUNG
Bab 6 TOBIAS GREGSON MEMAMERKAN KEBOLEHANNYA
Bab 7 CAHAYA DALAM KEGELAPAN
Bab 1
MR. SHERLOCK HOLMES
PADA TAHUN 1878 aku mengambil gelar Doctor of Medicine di
Universitas London, dan meneruskan pendidikanku di Netley untuk
menjalani kursus ahli bedah di Angkatan Perang. Setelah menyelesaikan
studiku, aku bergabung dengan Fifth Northumberland Fusiliers sebagai
asisten ahli bedah. Pada waktu itu Resimen ditempatkan di India, dan
sebelum aku bisa bergabung, perang kedua di Afghan telah terjadi. Begitu
mendarat di Bombay, aku sadar bahwa tubuhku telah melewati perbatasan,
dan sudah terlalu jauh masuk ke negeri musuh. Aku terus mengikuti
petugas lainnya yang situasinya sama denganku, yaitu tiba dengan selamat
di Kandahar untuk bergabung dengan resimen, dan sekaligus memulai
tugas-tugas baru.
Kampanye memberikan janji-janji dan kehormatan kepada banyak orang,
tetapi bagiku hanyalah bencana dan kemalangan. Aku dipindahkan dari
kesatuanku dan dipekerjakan di Berkshires, aku mengabdi di sana
berterpatan pada saat pertempuran fatal di Maiwand. Di sana bahuku
diserang oleh peluru Jezail yang menghancurkan tulangku serta
menyerempet nadi-subclavian ku. Seharusnya aku sudah berada di tangan
pembunuh kejam Ghazis sekarang, namun atasanku Murray, bukan karena
alasan kewajiban atau keberanian, memaksaku melewati segerombolan kuda
sehingga membawaku sampai ke perbatasan Inggris dengan selamat.
Rasa sakit dan penderitaan berkepanjang menyeselimuti diriku yang lemah.
Aku dipindahkan, dengan menderita sederet luka yang hebat, ke rumah
sakit pangkalan di Peshawar. Selagi aku terkapar disebabkan oleh demam
enteric, semacam kutukan orang India, aku terbaring dan jauh dari
hal-hal seperti berjalan-jalan berkeliling bangsal bahkan sedikit
berjemur di beranda. Selama berbulan-bulan hidupku penuh keputusasan,
dan pada akhirnya aku perlahan-lahan sembuh serta kembali kepada diriku
semula. Aku menjadi sangat lemah dan kurus, keadaan ini membuatku
disegerakan kembali ke Inggris. Aku dikirimkan via pesawat pengangkut
tentara Orontes, dan mendarat satu bulan kemudian di dermaga Portsmouth
dengan kesehatan yang semakin memburuk. Sesampainya di Inggris, aku
diberi ijin oleh pihak Pemerintah untuk menghabiskan masa penyembuhanku
selama sembilan bulan berikutnya.
Aku hidup sebatang kara di Inggris, sekaligus bebas seperti udara - atau
bebas sebagai orang yang berpenghasilan sebelas shilling eman sen
sehari yang menjadikanku lelaki yang seharusnya. Pada kondisi ini secara
alami aku bertempat tinggal di London, tempat pembuangan yang bagus
bagi semua pemakai Lounge dan pemalas Kerajaan untuk membuang uangnya.
Aku tinggal di hotel pribadi di sekitar Pantai. Di mana aku bisa
menghilangkan suntuk, jalan-jalan, dan menghabiskan uang yang aku
memiliki, sangat bebas bahkan lebih bebas dibandingkan dengan diriku
yang sesungguhnya. Aku menyadari bahwa kondisi finansialku sudah sangat
mengkawatirkan sehingga aku harus pergi dari kota metropolis ini dan
hidup di tempat lain di suatu tempat di negeri ini atau merubah total
gaya hidupku. Aku mulai dengan berfikir untuk memilih alternative ke dua
yaitu meninggalkan hotel, dan menyewa tempat tinggal yang lebih murah
serta berjangka empat priode.
Setelah berhari-hari maka aku sampai kepada keputusan ini. Aku berdiri
di Bar Criterion. Ketika seseorang menepuk bahuku, aku menoleh ke
belakang, ternyata aku mengenalinya, Young Stamford, yang tadinya
menegurku di Bart. Tatapan mukanya yang bersahabat di belantara London
yang agung ini adalah suatu hal yang menyenangkan bagi seseorang yang
kesepian seperti diriku. Dahulunya Stamford dan aku belum pernah seakrab
ini, tetapi sekarang aku meladeninya dengan antusias, dan dia, pada
giliranya muncul untuk mengunjungiku. Dalam suasana gembira, aku
mengajak dia makan siang dengan di Holborn, dan kami mulai ngobrol.
“Apa yang terjadi pada dirimu, Watson?” ia bertanya dengan
terang-terangan, seperti merayap menembus jalanan London yang penuh
sesak. “kau sama kurusnya dengan penggaris dan kulitmu sama coklatnya
dengan kacang.”
Aku memberikan gambaran singkat tetang petualanganku, dan dengan susah payah menyimpulkannya saat kami mencapai tujuan.
“Orang malang!” katanya, dengan penuh kasihan, setelah ia mendengarkan kemalanganku. “Apa yang mau kau lakukan sekarang?”
“Mencari penginapan,” jawabku. “Berusaha untuk mendapatkan ruang yang nyaman dengan harga layak.”
“Aneh sekali ya…,” kata rekanku; “dalam satu hari ini, sudah dua orang berekspresi seperti itu kepadaku, termasuk kau.”
“Dan siapa yang pertama?” Tanyaku.
“Seorang teman yang sedang bekerja di laboratorium kimia di rumah sakit.
Pagi ini dia meratapi dirinya sendiri karena tidak bisa menemukan
seseorang yang mau berbagi beberapa ruangan yang bagus dengannya yang
terlalu sulit untuk ditanggungnya sendiri.”
“Astaga!” Aku berteriak; “jika dia benar-benar ingin seseorang untuk
berbagi ruang dan biayanya, aku orang yang tepat untuknya. Aku lebih
suka punya partner ketimbang sendirian.”
Young Stamford memandangku dengan cara yang aneh di atas gelas winenya.
“kau belum tahu Sherlock Holmes sedikitpun,” katanya; “barangkali kau
tidak akan tahan berteman dengannya.”
“Kenapa, apa ada yang salah dengannya?”
“Oh, aku tidak bilang ada yang salah dengannya. Pemikirannya sedikit
aneh dan terlalu antusias terhadap beberapa cabang sains. Sejauh yang
aku tahu, dia adalah pekerja yang cukup taat peraturan.”
“Apa dia Mahasiswa Kedokteran?” kataku.
“Bukan - Aku ngak tahu apa keahlianya. Aku percaya ia ahli di bidang
anatomi, dan salah satu ahli kimia terbaik; tetapi, sejauh yang aku
tahu, ia belum pernah mengambil kelas medis. Studinya sangat eksentrik
dan tak teratur, tetapi pengetahuannya lebih banyak dibandingkan dengan
profesornya.”
“Tak pernahkah kau tanyai dia apa yang dikerjakannya?” Tanyaku.
“Tidak; dia bukanlah orang yang mudah diprediksi, meskipun begitu ia cukup komunikatif ketika kita tanya seputar khayalannya.”
“Aku perlu menemuinya,” Kataku. “Jika aku akan indekos dengan seseorang,
aku perlu belajar menyukai orang itu dan mempelajari kebiasaannya. Aku
tidak cukup kuat untuk bertahan di keramaian. Aku sudah bosan dengan
keadaanku seperti di Afghanistan keamarin. Bagaimana aku bisa menemui
temanmu ini?”
“Dia pasti sedang di laboratorium sekarang,” jawab rekanku. “Ia tidak
akan meninggalkan tempat itu selama berminggu-minggu, kecuali bekerja di
sana dari pagi sampai malam. Jika kau suka, kita bisa
berkeliling-keling setelah makan siang.”
“Pasti,” Jawabku, dan percakapan pun beralih ke topik yang lain.
Ketika kami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, setelah meninggalkan
Holborn, Stamford memberiku lagi sedikit nasihat untuk menghadapi pria
yang akan kujadikan teman indekosku ini.
“Kau jangan menyalahkan aku jika tak merasa cocok dengannya,” katanya;
“Aku tidak tahu lebih banyak lagi tentang dia. Pengetahuanku tentang dia
hanya sebatas yang aku pelajari dari pertemuan di laboratorium. Kau
yang menginginkan pertemuan ini, jadi jangan minta pertanggungjawaban
ku.”
“Jika kita tidak berhasil, akan lebih mudah untuk kita berpisah,” Jawab
ku. “Nampaknya aku juga begitu, Stamford,” Aku menambahkan, sambil
melihat rekan ku dengang rasa tak enak, “Alasanmu untuk tidak terkait
menyangkut perihal ini. Adalah karena perangai orang ini yang sangat
hebat, atau apa? Jangan bicara ngak jelas seperti itu dong.”
“Tidak mudah untuk mengekspresikan hal yang susah diekspresikan,” ia
menjawab dengan tawa. “Bagiku, Holmes sedikit terlalu ilmiah dan
mendekati berdarah-dingin. Aku bisa bayangkan dia memberi temannya
secuil sayuran alkaloida yang terakhir, bukan karena ia dengki, kau tahu
kan…, tetapi sederhananya dia selalu bersemangat nuntuk memastikan
keakuratan efek dari sebuah gagasan. Untuk melakukan keadilannya, aku
pikir dia bersedia diperlakukan sama jika dia di posisi tadi. Ia tampak
gemar akan kenyataan dan ilmu pasti.”
“Ya bagus lah kalau begitu.”
“Ya, tetapi mungkin saja terlalu berlebihan. Ketika waktunya tiba untuk
memukul subjek di ruang potong dengan tongkat, pasti berubah jadi bentuk
yang agak aneh.”
“Memukul subjek”
“Ya, untuk memverifikasi berapa banyak memar yang mungkin diproduksi setelah kematian. Aku melihatnya dengan mataku sendiri.”
“Tapi kau bilang tadi dia bukan mahasiswa kedokteran?”
“Tidak. hanya Tuhan yang tahu bidang studi apa yang diambilnya. Namun
kita sudah sampai di sini, dan kau harus membentuk kesanmu sendiri
tentangnya.” Begitulah katanya, kami menuruni jalan setapak yang sempit
dan melintas pintu samping yang kecil, yang terbuka menuju bagian
samping rumah sakit yang besar. Aku sudah terbiasa dengan suasana rumah
sakit ini, dan tidak perlu dipandu ketika kami menaiki tangga batu yang
berwarna pucat dan jalan di koridor panjang yang dindingnya bercat putih
dan pintu berwarna dun. Mendekati ujung jalan yang melengkungan rendah
dan bercabang menuju laboratorium kimia.
Kamar yang tinggi, bergaris-garis dan dipenuhi dengan botol tak
terhitung jumlahnya. Meja yang lebar dan rendah berserakan, tabung
destilasi berdiri tegak, tabung-reaksi, dan Lampu Bunsen kecil, dengan
kedipan nyala api biru. Hanya ada satu siswa di ruang itu, yang sedang
membungkuk ke depan meja dan larut dengan pekerjaannya. Bunyi langkah
kaki kami membuatnya menoleh ke arah kami dengan sangat gembira. “Aku
menemukannya! menemukannya,” Teriaknya kepada rekanku, berlari ke arah
kami dengan tabung reaksi di tangannya. “Aku sudah menemukan re-agent
yang mempercepat haemoglobin, dan bukan yang lain.” Dia seperti
menemukan tambang emas, kesenangan di paras wajahnya tidak bisa
dilukiskan lagi.
“Dr. Watson, Mr. Sherlock Holmes,” kata Stamford, memperkenalkan kami.
“Apa kabar?” katanya dengan ramah, menggenggam tanganku dengan kuat,
sepertinya aku sudah memberinya kredit. “Anda pernah ke Afghanistan, ku
rasa.”
“Bagaimana anda bisa tahu?” tanyaku, dengan terkejut.
“Bukan apa-apa,” katanya, tertawa kecil sendiri. “Pertanyaan sekarang
adalah tentang haemoglobin. Kau lihat penemuanku ini? Tidak diragukan
lagi.”
“Secara kimiawi hal ini menarik, tidak diragukan,” Jawabku, “tetapi secara praktik–”
“Kenapa, bung, ini penemuan medico-legal yang paling praktis selama
bertahun-tahun. Tahukah anda bahwa itu memberi kita tes yang layak untuk
noda darah? ke sini sekarang!” Ia meraih lengan jaketku dengan sangat
berhasrat, dan menunjukkan meja kerjanya kepadaku. “Andaikan kita punya
darah segar,” katanya, sambil menusuk jari nya, lalu menteteskan
darahnya ke dalam pipet tetes. “Sekarang, aku menambahkan sedikit darah
ini ke 1 liter air. kau pasti merasa bahwa campuran yang dihasilkan
mewakili air murni. Proporsi darah tidak bisa lebih dari satu per
sejuta. Aku tak punya keraguan, walaupun begitu, kita harus memperoleh
karakteristik reaksinya.” Selagi ia bicara, Ia meletakkan nya ke dalam
bejana dengan sedikit kristal putih, dan kemudian menambahkan beberapa
tetes cairan transparan. Segera muatan itu diasumsikannya berwarna kayu
mahoni jemu, dan debu kecoklat-coklatan bergerak cepat ke dasar guci
kaca.
“Ha! ha!” ia berteriak gembira, menepukkan tangan nya, dan berseri-seri seperti anak dengan mainan baru. “Apa pendapat anda?”
“Tampaknya tes berjalan baik,” Kataku.
“Benar sekali! benar Sekali! Tes Guaiacum klasik adalah tes yang sangat
canggung dan tidak-pasti. Jadi apakah layak sebagai penguji mikroskopik
untuk sel darah. Dan kemudian, tidak ada gunanya jika noda dibiarkan
beberapa lama. Sekarang, inilah solusinya, jika darah dalam kondisi baru
atau tidak. Pernahkan tes ini ditemukan, ada beratus-ratus manusia yang
sekarang berjalan di atas bumi ini yang dulunya harus dihukuman atas
kejahatan mereka.”
“Tentu saja!” bisikku.
“Perkara pidana terus-menerus bergantung pada hal ini. Seseorang
diputuskan untuk dijadikan tersangka memakan waktu kurang lebih satu
bulan. Pakaian atau pelapisnya diuji dan noda kecoklat-coklatan
ditemukan di atasnya. Apakah itu noda darah, noda lumpur, noda karat,
noda buah, atau apapun itu. Bagi para ahli bisa menjadi pertanyaan yang
membingungkan, tapi mengapa? Sebab tidak ada pengujian yang dapat
dipercaya. Sekarang kita punya tes Sherlock Holmes, dan tidak akan ada
lagi kesulitan.”
Matanya berkelip kala ia bicara, dan meletakkan tangan di dadanya serta
membungkuk seolah-olah mendapat tepuk tangan yang meriah.
“Kau pantas diberi selamat,” kataku, melihat gairahnya yang meluap-luap.
“Ada kasus Von Bischoff di Frankfort tahun lalu. Ia pasti sudah
digantung jika tes ini ada. Kemudian ada Tukang batu dari Bradford, sang
terkenal Muller, Lefevre dari Montpellier, dan Samson dari New Orleans.
Aku bisa memberi penilaian pada kasus-kasus itu, di mana penilaian itu
akan mempengaruhi keputusannya.”
“Kau seperti Kalender Kejahatan berjalan,” kata Stamford tertawa. “Kau
mungkin bisa mulai dengan membaca koran di rubrik kriminal. cari saja di
surat kabar Police News edisi yang sudah lewat.’”
“Bacaan yang Menarik, bagus juga,” kata Sherlock Holmes, sambil
melengketkan potongan kecil plester di jarinya yang luka. “Aku harus
hati-hati,” lanjutnya, sambil berbalik tersenyum ke arahku, “karena Aku
akan mencoba memercikinya dengan racun.” Ia menahan tangannya sambil
bicara, dan benar saja jarinya yang luka tadi dibubuhinya dengan bintik
beraneka warna dan dibalut dengan selembar potongan plester, dan
dikotori dengan asam kuat.
“Kami datang ke sini untuk sebuah urusan,” kata Stamford, yang sedang
duduk di bangku tinggi berkaki-tiga, dan mendorong bangku yang lain ke
arahku dengan kakinya. “Temanku ke sini untuk menanyakan sesuatu; dan
seperti keluhanmu waktu itu, aku pikir sebaiknya ku jumpakan kalian
berdua.”
Sherlock Holmes tampaknya gembira atas gagasan untuk membagi ruangannya
dengan aku. “Aku sudah lihat deretan pemukiman di Baker Street,”
katanya, “yang akan sesuai untuk kita tempati. Aku harap kau tidak
keberatan dengan bau kuat tembakau.”
“Aku selalu merokok,” Jawab ku.
“Itu sudah cukup. Aku biasanya menyimpan bahan-kimia, dan adakalanya mengadakan eksperimen. Apakah itu mengganggumu?”
“Tidak sama sekali.”
“Baiklah, biar aku jelaskan dahulu. Kadang-kadang Aku ingin menyendiri,
dan tidak berbicara selama berhari-hari. Jangan kira aku sedang merajuk
ketika melakukan itu. Biarkan saja aku sendiri, dan Aku akan segera
normal kembali. Apa kau punya keluhan sekarang? Adalah penting bagi dua
orang untuk saling mengetahui kebiasan buruk satu sama lain sebelum
mereka tinggal bersama.”
Aku tertawa atas tanya-jawab ini. “Aku memelihara anak anjing bull,”
kataku, “dan aku keberatan akan adanya hal-hal yang mengejutkan karena
aku orangnya panikan, dan aku punya jam-jam untuk gila-gilaan, dan aku
orang yang sangat malas. Aku punya sederetan sifat buruk lainnya jika
sedang bahagia, tetapi yang tadi itu merupakan hal yang utama sekali.”
“Apakah bermain biola juga termasuk kategori burukmu?” tanyanya, dengan penuh hasrat.
“Tergantung permainanmu,” Jawabku. “Permainan biola yang baik bagaikan persembahan untuk Tuhan dan sebaliknya–”
“Oh, baiklah,” teriaknya, sambil tertawa. “Aku pikir kita bisa pertimbangkan hal tersebut segera setelah kau suka tempatnya.”
“Kapan kita lihat rumahnya?”
“Besok siang, temui aku di sini, dan kita akan berangkat bersama-sama
dan menyiapkan segalanya,” jawabnya. “Baiklah, besok siang,” kataku
sambil menjabat tangannya. Lalu kami pergi dan meninggalkannya sendiri,
bekerja dengan bahan-bahan kimia, dan kami berjalan bersama-sama ke arah
hotelku.
“Ngomong-ngomong,” tanyaku tiba-tiba, sambil berhenti dan berputar ke
arah Stamford, “bagaimana dia tahu aku pernah ke Afghanistan?”
Rekanku tersenyum enigmatical. “Itu baru sedikit keanehan kecilnya,”
katanya. “Sebagian besar orang ingin tahu bagaimana ia menemukan hal-hal
tersebut.”
“Oh! sungguh misterius, ya kan?” Aku merinding, sambil menggosok
tanganku. “Menarik sekali. Aku berhutang budi kepadamu karena telah
menjumpakan kami berdua. ‘untuk mengerti seseorang kita harus langsung
bertemu orang itu sendiri,’ ya kan…”
“Kau harus mengerti dia, kemudian,” kata Stamford, seperti menyuruhku mengucapkan selamat jalan.
“Kau akan lihat saja nanti.., dia akan bermasalah lebih dulu. Aku berani
bertaruh ia akan memahamimu lebih banyak dibanding kau memahami dia.
Good-Bye.”
“Good-Bye,” Jawabku, sambil berjalan ke arah hotelku, sambil memikirkan kenalan baruku.
Bab 2
KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
KAMI BERTEMU di hari berikutnya seperti yang dia janjikan, lalu kami
memeriksa ruangan di rumah No. 221B, Baker Street, yang dibicarakannya
waktu itu. Ruangan itu terdiri dari sepasang ruang tidur yang nyaman dan
ruang duduk yang lebar dan segar, dilengkapi dengan perabot yang
meriah, dan diterangi dengan dua jendela yang lebar. Sungguh
mengairahkan, di semua sisi apartemen, dan kelihatannya, suasana rumah
tersebut, seperti dibagi dua untuk kami berdua. Perjanjiannya diputuskan
setelah kami melihat keadaan ruangannya, dan segera, kamipun membuat
persetujuan. Tiap sore aku memindahkan barang-barangku dari hotel, dan
paginya Sherlock Holmes membantuku dengan mengangkat beberapa kotak dan
portmanteaus. Selama satu atau dua hari kami disibukkan dengan
membongkar dan menyusun barang-barang ke tempat yang mudah dijangkau.
Setelah selesai, secara berangsur-angsur kami mulai beristirahat untuk
mengakomodasi diri kami di lingkungan baru.
Holmes bukanlah orang yang sulit beradaptasi. Ia nyaman dengan
kegiatannya, dan kebiasaannya biasa-biasa saja. Adalah jarang baginya
beristirahat lewat pukul sepuluh malam, dan sarapan paginya tidak
bervariasi dan pergi sebelum aku segar di pagi hari. Kadang-Kadang ia
menghabiskan hari-harinya di laboratorium kimia, kadang-kadang di ruang
bedah, dan adakalanya berjalan kaki dengan jarak yang jauh, yang
menempatkan dirinya di porsi paling rendah di kota besar. Tidak ada yang
bisa melebihi energinya ketika dia bekerja dalam kedaan fit; tetapi
sesekali reaksinya terlihat, selama berhari-hari ia merebahkan diri di
atas sofa di ruang duduk, malas berbicara atau mengerakkan ototnya dari
pagi sampai malam. Peristiwa ini, sudah kuduga seperti mimpi, ekspresi
kosong di mata nya, seperti kecanduan narkotika, tidak punya emosi dan
hasrat hidup dan berfikir merupakan hal yang terlarang.
Setelah minggu-minggu itu lewat, perhatianku terhadapnya dan
keingintahuanku akan tujuan hidupnya secara berangsur-angsur medalam dan
meningkat. Pribadinya yang berubah dan penampilannya menarik perhatian
orang jika dilihat sekilas. Tingginya kira-kira enam kaki lebih, terlalu
sering bersandar membuatnya tampak lebih tinggi. Matanya tajam dan
menusuk, aman selam aku tidak menyinggungya; dan hidung yang tipis
seperti elang memberi ungkapan kesiapsiagaan dan keputusan. Dagunya,
juga, telah menonjol dan kepetakan yang menandainya sebagai manusia yang
punya ketetapan hati. Tangannya selalu dinodai dengan tinta dan
bahan-kimia, sekalipun begitu ia haus akan sentuhan, seperti yang sering
ku amati ketika melihat dia memanipulasi instrumen filosofisnya yang
mudah pecah.
Barangkali pembaca menganggap keusilanku sia-sia, ketika aku mengaku
ingin sekali tahu tentang orang ini, dan betapa seringnya aku mencoba
untuk membuatnya bicara tentang semua hal yang terkait dengan keadaannya
sekarang. Sebelum memutuskannya, harus diingat bahwa aku tidak
bermaksud apa-apa, dan perhatianku hanya sekedar saja. Kesehatanku
melarangku untuk berpergian keluar kecuali jika cuaca sedang ramah, dan
aku tidak punya teman yang bias dihubungi untuk mengatasi kebosananku
sehari-hari. Dalam keadaan seperti ini, aku bernafsu untuk menyalami
sedikit misteri yang dialami rekanku, dan menghabiskan banyak waktuku
untuk mencoba meluruskan kekusutan yang terjadi.
Ia bukan mahasiswa Kedokteran. Aku bisa bertanya langsung kepadanya
perihal pendapat Stamford waktu itu. Tidakkah dia terlihat cocok untuk
beberapa cabang ilmu-pengetahuan yang membuatnya pas untuk berijazah
sains atau titel lainnya yang memberinya pintu masuk ke dunia
terpelajar. Belum lagi semangatnya untuk belajar sungguh luar biasa dan
dalam batasan tertentu pengetahuannya sangat luar biasa luasnya serta
menit-menit pengamatannya sangat mengejutkan aku. Tentunya tak ada orang
yang mau bersusah payah mencapai informasi setepat itu kecuali jika ia
telah membayangkan hasil akhirnya. Seseorang yang bacaannya tak teratur
sungguh jarang mencapai ketepatan pelajaran mereka. Tidak ada orang yang
rela membebani pikirannya untuk berbagai hal kecil kecuali ia punya
alasan khusus.
Ketidaktahuannya sama luar biasanya seperti pengetahuannya. Namun untuk
literatur kontenporer, politik, dan filosofi ia hampir tidak tahu
apa-apa. Atas kutipanku tentang Thomas Carlyle, dengan naif ia
menanyakan siapa Thomas Carlyle sebenarnya dan apa yang telah ia
dilakukan. Aku sangat terkejut, ketika secara kebetulan tahu bahwa ia
tidak tahu tentang Teori Copernican dan komposisi Solar Sistem.
Bagaimana bisa seseorang manusia yang hidup di abad ke-19 ini tidak tahu
bahwa bumi mengelilingi matahari… Perihal itu meyakinkanku akan
keluarbiasaaannya yang sulit dimengerti.
“Kau tampak heran,” katanya, tersenyum karena ungkapan terkejutanku.
“Sejak aku mengetahuinya aku berupaya maksimal mungkin untuk
melupakannya.”
“Untuk melupakannya!”
“Kau tahu,” ia menerangkan, “Aku menganggap bahwa otak manusia mula-mula
seperti loteng (attic) kecil yang kosong, dan kau harus mengisinya
dengan mebel pilihanmu. Suatu kebodohan jika mengambil semua kayu dari
tiap-tiap potongan yang ia lewati, sedemikian hingga pengetahuan yang
mungkin berguna baginya jadi terdesak, atau paling tidak
mencampuradukkan nya dengan banyak hal-hal lain, sehingga ia kesukaran
untuk berkutat di dalamnya. Sekarang, pekerja yang penuh dengan keahlian
sangat berhati-hati akan apa yang dia masukkan ke brain-attic nya. Ia
tak akan punya apapun selain perkakas yang bisa membantu dalam
pekerjaannya, terlepas dari ini ia punya bermacam-macam peralatan, dan
semua berada pada urutan yang sangat tepat. Keliru untuk berpikir bahwa
sedikit ruang itu punya dinding elastis yang dapat bergelembung menjadi
besar. Tergantung pada setiap penambahan pengetahuannya sehingga kau
melupakan sesuatu yang kau ketahui sebelumnya. Ini sangat penting
sekali, oleh karena itu, tidak ada fakta yang berguna untuk memaksa hal
yang bermanfaat itu keluar.”
“Tetapi Solar Sistem!” Aku memprotes.
“Apa ada yang salah dengan saya?” ia menyela dengan tidak sabar: “kau
berkata bahwa kita mengelilingi matahari. Jika kita berkeliling bulan
tidak akan membuat perbedaan terhadap pekerjaanku.”
Aku nyaris menanyakan apa yang ia kerjakan, tetapi sesuatu menunjukkanku
bahwa pertanyaan itu akan menyinggungnya. Aku merenungkan percakapan
singkat kami dan mencoba untuk menggambarkan kesimpulannya. Katanya
bahwa ia tidak akan memperoleh pengetahuan akan objek yang tidak ia
kerjakan. Oleh karena itu semua pengetahuan yang ia memiliki sepertinya
akan berguna bagi dia. Aku menyebutkan satu-persatu dalam pikiranku
tentang semua poin-poin yang ia tunjukkan yang mana membuktikan kepadaku
bahwa ia sangat berpengetahuan luas. Aku bahkan mengambil pensil dan
mencatatnya. Aku tidak bisa tersenyum atas catatan yang telah ku
selesaikan. Isi catatannya seperti ini:
Sherlock Holmes - batas kemampuannya
1. Pengetahuan tentang literature. - Nol.
2. ” ” ” Filosofi. - Nol.
3. ” ” ” Astronomi. - Nol.
4. ” ” ” Politik. - Lemah.
5. ” ” ” Ilmu tumbuh-tumbuhan. - Bervaiasi. Ahli dalam
belladonna, candu, dan racun umum. Tidak tahu apapun tentang cara
berkebun.
6. ” ” ” Geologi. - Teknis, tetapi terbatas. Dapat
menjelaskan perbedan antara tanah satu dan lainnya. Setelah
mondar-mandir dia memperlihatkan kepadaku noda tanah di celana
panjangnya, dan menceritakan kepadaku akan warna dan konsistensinya
dengan daerah London dimana dia memperoleh noda itu.
7. ” ” ” Kimia. - Sangat ahli.
8. ” ” ” Anatomi. - Akurat, tetapi tidak sistimatis.
9. ” ” ” Literatur Berita Sensasional. - Luas Sekali. Ia kelihatannya tahu setiap detil cerita horor di abad ini.
10. Bermain Biola dengan baik.
11. Ahli dalam pemainan singlestick, tinju, dan ahli anggar.
12. Punya pengetahuan teknis yang baik tentang hukum Britania.
Ketika sudah sejauh ini, daftar yang ku buat, aku melempar ke dalam api
dalam keputusasaan. “Jika saja aku bisa temukan pemicu yang mengaitkan
semuanya kecakapannya, dan menghubungkan semuanya,” Aku berkata kepada
diriku sendiri, “Aku bisa saja segera menyerah .”
Aku merasa iri atas kekuasaannya dengan biola. Ini sangat luar biasa,
tetapi sama anehnya dengan semua kepandaiannya yang lain. Ia bisa
memainkan bagian-bagian lagu yang sulit, aku tahu tentang bagian-bagian
yang sulit itu karena aku yang mintanya memainkan bagian lagu itu,
seperti lagu Lieder Mendelssohn dan lagu-lagu favorit lainnya. Ketika
membiarkannya bermain, jarang terdengar bunyi yang sumbang. Pada suatu
malam ia bersandar di kursi lengan, ia memejamkan mata dan dengan
sembarang menggesek-gesek serta melemparkan biola ke seberang lututnya
sendiri. Kadang-kadang bunyinya menjadi nyaring lagi merdu dan
merobek-robek jiwa. Adakalanya bunyinya gembira dan fantastik. Jelas
sekali mencerminkan pemikiran yang dimilikinya, tetapi apakah musik
dirasuki pemikirannya, atau permainan sederhananya adalah hasil dari
tingkah atau fantasi belaka, di luar kemampuanku untuk memutuskannya.
Ingin sekali aku berontak terhadap permainan tunggalnya yang
menjenkelkan, yang mengakhiri permainannya dengan tempo cepat di bagian
lagu yang kusenangi, sebagai sedikit bayaran atas kekesalanku.
Sepanjang minggu pertama atau kira-kira begitu, kami tidak kedatangan
tamu, dan aku mulai berpikir bahwa rekan ku tak punya teman sama seperti
diriku. Ternyata aku salah, rupanya dia punya banyak kenalan, dan
mereka berada pada kelas sosial yang berbeda-beda. Ada yang wajahnya
sedikit pucat, mukanya seperti tikus, bermata gelap, yang
diperkenalkannya kepada ku sebagai Mr. Lestrade, yang datang tiga atau
empat kali dalam seminggu ini. Satu pagi seorang gadis muda datang ke
rumah kami, berpakaian sesuai dengan mode, dan mampir selama setengah
jam atau lebih. Sore yang sama datang seorang yang berkepala coklat,
berbiji banyak, seperti penjaja perhiasan, datang kepadaku dengan penuh
gairah, dan diikuti oleh perempuan lebih tua tak terurus. Pada
kesempatan lain pria tua beruban datang untuk diwawancarai oleh rekanku;
dan pada hari lainnya, kuli pengangkut barang di kereta api dengan
seragamnya berbeludru katun. Ketika siapapun dari mereka berkunjung,
Sherlock Holmes biasanya memintaku agar mereka bisa mengunakan ruang
duduk, dan aku undur diri ke ruang tidurku. Ia selalu minta maaf padaku
untuk ketidaknyamanan ini. “Aku harus menggunakan ruang ini sebagai
tempat bisnis,” katanya, “dan orang-orang ini adalah klienku.” Lagi-lagi
aku punya kesempatan untuk menanyakannya, pertanyaan terus terang, dan
lagi-lagi perasaanku mencegahku untuk memaksa orang menceritakan
rahasianya kepadaku. Aku membayangkan suatu saat ia punya alasan kuat
untuk tidak menyinggung masalah itu, tetapi ia segera merubah arah
pembicaraan kami.
Saat itu tanggal 4 Maret, sepertinya aku punya alasan bagus untuk
mengingatnya, bahwa aku bangun lebih awal dari biasanya, dan Sherlock
Holmes pun masih belum menyelesaikan sarapannya. Wanita pemilik pondokan
sudah sangat terbiasa atas kebiasaanku akhir-akhir ini sehingga di
tempatku di meja makan belum tersedia kopi. Dengan sifat dasar manusia
yang cepat marah, tanpa alasan aku menekan tombol bell dan memberi tanda
kasar bahwa aku sudah siap. Kemudian aku mengambil majalah dari meja
dan mencoba menghabiskan waktuku dengannya, selagi rekanku mengunyah
roti panggangnya dalam kesunyian. Salah satu artikelnya sudah ditandai
dengan pensil pada bagian judulnya, dan secara alamian mataku mulai
meliriknya.
Entah bagaimana aku bias merasa ambisius, artikelnya berjudul “Buku
Kehidupan,” dan artikel itu mencoba untuk menunjukkan seberapa banyak
seorang obeservator belajar dari pengujin sistematis dan akurat hingga
mencapai hasilnya. Hal itu menarik perhatianku seperti percampuran hebat
antara ketajaman pikiran dan kemustahilan. Inti pokok tulisan ini
begitu dekat dan kuat, tetapi deduksi pengambilan keputusannya kelihatan
berlebihan dan dibuat-buat. Penulis mengklaim dengan ungkapan sesaat,
kejangan otot atau kerlingan mata, untuk mengukur pemikiran paling dalam
manusia. Penipuan, menurut dia, adalah suatu hal yang tidak mungkin
terjadi pada orang yang dilatih untuk berobservasi dan menganalisis.
Kesimpulannya sama sempurnanya dengan dalil-dalil Euclid. Sangat
mengejutkan hasilnya bagi orang yang belum tahu hingga mereka
mempelajari prosesnya dan mengambil kesimpulan bahwa ternyata penulis
adalah seorang ahli nujum.
“Dari tetesan air,” penulis berkata, “Ahli logika bisa menyimpulkan
kemungkinan Lautan Atlantik atau Niagara tanpa melihat atau mendengar
salah satunya. Maka seluruh kehidupan merupakan rangkaian yang besar,
dan alam sebagai mata rantai tunggalnya. Seperti halnya seni yang lain,
Konsep Pengambilan Keputusan dan Analisis adalah suatu yang hanya bisa
diperoleh dengan studi yang panjang dan sabar, Sekalipun hidup cukup
panjang untuk mengizinkan bagi setiap makhluk mencapai kemungkinan
kesempurnaan yang paling tinggi. Sebelum mulai mempertimbangkan aspek
mental dan moral dari suatu masalah yang menyajikan berbagai kesulitan
besar, biarkan penyelidik dimulai terlebih dahulu sebagai elemen utama
permasalahan. Biarkan dia berada pada pertemuan antara kehidupan dan
pendukungnya, dan dengan sekejap mengerti akan hal yang mencirikan
sejarah manusia, perdagangan atau profesi lainnya yang menjadi
pembentuknya. Akan terlihat seperti anak-anak yang sedang berlatih
mempertajam pancaindera, pengamatan, dan belajar apa yang harus dilihat
dan apa yang dicarinya. Menggunakan kuku, mantel berlengan, sepatu boot,
celana ponggol, kepalantangan, ungkapan, atau dengan menyingsingkan
lengan baju. Hal-hal tersebut merupakan panggilan jiwa manusia yang bisa
dengan sederhana diungkapkan. Semua itu perlu dipersatukan untuk
menerangi penyelidikan yang berkompeten untuk dipertanyakan, setidaknya
kasus yang hampir tidak dapat dipecahkan.”
“Omong kosong macam apa ini!” Teriakku, menampar majalah ke atas meja;
“Seumur hidupku, aku belum pernah membaca sampah semacam ini.”
“Ada Apa?” tanya Sherlock Holmes.
“Kenapa, artikel ini,” kataku, menunjuk artikel itu dengan sendok
telurku sambil makan sarapanku. “Ku rasa kau sudah membacanya karena kau
yang menandainya. Aku tidak menyangkal artikel ini ditulis dengan baik.
Meskipun menggangguku. Itu jelas teori orang malas yang menggabungkan
sebagian kecil saduran paradox studinya sendiri dengan rapi. Cuma
sekedar teori. Aku bisa membayangkan dia ditepuki tangan di atas kereta
bawah tanah Kelas-Tiga, dan dimintai tanda tangan oleh semua penumpang.
Mungkin seribu orang.”
“Kau akan kehilangan uangmu,” Holmes berkata dengan santai. “Untuk artikel ini, aku yang menulisnya.”
“kau!”
“Ya; Aku berminat akan pengamatan dan pengambilan keputusan. Teori yang
aku tulis di artikel itu, dan yang bagimu begitu mengada-ada, sungguh
sangat nyata dan praktis. Dan aku bergantung padanya untuk mengisi
perutku.”
“Dan bagaimana?” Aku bertanya tidak dengan sukarela.
“Well, aku punya perdagangan sendiri. Dan ku kira, cuma aku satu-satunya
di dunia ini. Aku adalah konsultan detektif, jika kau mengerti apa itu
konsultan detektif. Di sini, di London, ada detektif-pemerintah dan
detektif-swasta. Ketika klienku dalam posisi bersalah, mereka datang
kepadaku, dan ku atur agar mereka berada di pihak yang benar. Mereka
meletakkan semua bukti di hadapanku, dan dengan berbekal pengetahuan
akan sejarah kriminal, biasanya aku bersedia membantu mereka. Ada
hubungan kuat yang terbentuk dari hal-hal aneh ini, dan jika kau punya
semua detilnya, adalah aneh jika kau tidak bisa meluruskan kekusutan
yang terjadi. Lestrade adalah detektif terkenal. Ia memecahkan kasus
pemalsuan yang baru-baru ini terjadi, dan hal itulah yang membawanya ke
sini.”
“Dan orang-orang ini?”
“Kebanyakan, mereka dikirim oleh para agen penyidik swasta. Mereka semua
adalah orang-orang yang bermasalah dan ingin sedikit penerangan. Aku
mendengarkan cerita mereka, mereka mendengarkan komentarku, dan kemudian
aku terima bayaran dari mereka.”
“Dengan kata lain,” kataku, “tanpa meninggalkan ruangmu kau dapat
memecahkan misteri yang terjadi dimana orang lain tidak dapat
melakukannya, walaupun mereka sudah melihat setiap detilnya?”
“Benar sekali. Aku rasa begitu. Se-sekali beberapa kasus bisa menjadi
sedikit lebih rumit. Kemudian aku harus turun-tangan sendiri. Kau lihat
sendiri aku punya banyak pengetahuan khusus dimana pengethuanku itu
kuterapkan ke kasus-kasus mereka, sebagai fasilitator berbagai hal yang
amat berguna. Konsep Pengambilan Keputusan di dalam artikel yang kau
ejek itu tidak ternilai manfaatnya bagiku. Bagiku, observasi adalah
sifat dasar yang kedua. Kau pasti terkejut ketika aku mengatakan, pada
pertemuan pertama kita, bahwa kau pernah ke Afghanistan.”
“Kau sudah diberitahu, ya kan…”
“Tidak…, Aku tahu kau pernah ke Afghanistan dari kebiasaan lama, dari
cara berfikir yang dengan cepat sampai ke pikiranku bahwa aku tiba pada
kesimpulan tanpa menyadari akan langkah-langkah intermediate. Ada
beberapa langkah. Deretan pemikirannya begini, ‘Ada orang bertipikal
medis di sini, namun dengan aura militer. Kemudian dengan jelas bisa
disimpulkan bahwa dia seorang dokter angkatan perang. Ia baru datang
dari dari daerah tropis, karena mukanya gelap, dan warna kulitnya tidak
alami, dan juga pergelangan tangannya kasar. Ia pernah mengalami sakit
dan penderitaan, sebab mukanya yang kurus dan pucat mengatakannya dengan
jelas. Lengan kirinya pernah terluka. Ia memegangi nya dengan cara yang
tak wajar dan kaku. Di daerah mana seorang dokter angkatan perang
Inggris bisa begitu banyak mengalami penderitaan dan luka ditangan?
Jelas sekali di Afghanistan.’ Keseluruhan deretan pikiran tidak terjadi
tiba-tiba. Dan kemudian aku berkata bahwa kau datang dari Afghanistan,
dan kau terkejut.”
“Sederhana sekali kau menjelaskannya,” Kataku, tersenyum. “Kau
mengingatkanku kepada Edgar Allan Dupin Poe. Aku tidak menyangka orang
seperti itu ada di luar cerita.”
Sherlock Holmes bangkit dan menyalakan pipanya. “Kau pasti berpikir
seperti itu, kau memujiku dengan membandingkanku dengan Dupin,” ia
mengamati. “Sekarang, menurut pendapatku, Dupin berada ditingkat yang
lebih rendah. Muslihatnya disesuaikan pada pemikiran temannya dengan
suatu komentar yang cocok setelah seperempat jam kesunyian, sungguh
mengesankan. Ia memiliki semacam kemampuan analitis yang genius, tidak
diragukan lagi; tetapi Poe sama sekali tidak punya alat seperti fenomena
untuk dibayangkan.”
“Sudahkah kau membaca tentang pekerjaan Gaboriau?” Tanyaku. “Apakah Lecoq menginspirasimu untuk menjadi detektif?”
Sherlock Holmes mengendus-endus dengan sinis. “Lecoq adalah pekerja
sembrono yang menyedihkan,” katanya, dengan suara marah; “hanya ada satu
hal untuk merekomendasikannya, dan itu adalah energi nya. Buku itu
membuatku berpenyakit positif. Pertanyaannya adalah bagaimana cara
mengidentifikasi narapidana tak dikenal. Aku bisa melakukannya dalam
waktu 24 jam. Lecoq memerlukan waktu sekitar enam bulan. Waktu selama
itu bisa dimanfaatkan untuk membuat buku panduan detektif untuk
mengajarkan mereka apa yang harus dihindari.”
Aku merasa agak marah atas komentar dua karakter itu setelah aku
diperlakukan dengan hormat dengan gaya militer. Aku berjalan ke jendela
dan berdiri sambil melihat-lihat ke arah jalan yang ramai. “Orang ini
sungguh pandai,” Aku berkata kepada diriku, “tetapi ia pasti sangat
angkuh.”
“Tidak ada kejahatan dan tidak ada penjahat di masa-masa sekarang,”
katanya, dengan bersungut-sungut. “Apa gunanya punya otak dalam profesi
kami? Aku tahu bahwa aku memilikinya dan hal itu bisa membuat namaku
terkenal. Tidak pernah ada orang yang punya bakat alam dan mendalami
ilmu untuk medeteksi yang sama seperti yang aku lakukan. Dan apa
hasilnya? Tidak ada kejahatan untuk dideteksi, atau dengan kata lain,
kebanyakan kejahatan yang terjadi tak terencana dengan motif yang sangat
transparan bahkan seorang petugas Scotland Yard dapat melihatnya.”
Aku masih terganggu atas kata-katanya yang sombong itu. Ku pikir lebih baik mengubah arah pembicaraan.
“Aku ingin tahu apa yang orang-orang itu cari?” tanyaku, menunjuk ke
seseorang yang berpakaian sederhana berjalan pelan di sepanjang seberang
jalan, perhatiannya tertuju pada nomor-nomor rumah. Ia memegang amplop
besar berwarna biru, dan jelas sekali pembawa pesan.
“Maksudmu pensiunan sersan Marinir,” Kata Sherlock Holmes.
“Sombong sekali!” pikir ku. “Ia tahu bahwa aku tidak bisa memverifikasi terkaannya.”
Sulit diterima pikiranku ketika orang yang sedang kami perhatikan
melihat ke arah nomor rumah kami, dan dengan cepat berlari menyeberangi
jalan. Kami mendengar ketukan nyaring, lengkingan suara dari bawah, dan
langkah-langkah berat menaiki tangga.
“Untuk Mr. Sherlock Holmes,” katanya, masuk ke ruangan dan memberi temanku surat.
Ini merupakan kesempatannya untuk menyombongkan diri. Ia akan heran jika
tembakannya ngawur. “Bolehkah aku bertanya, kawan,” kataku, dengan
suara lembut, “Apa pekerjaanmu?”
“Komisaris, Pak,” katanya, dengan keras. “Seragamku sedang diperbaiki.”
“Dan kau adalah?” tanyaku, dengan pandangan sedikit dengki pada rekanku.
“Sersan, pak, Royal Marine Light Infantry, pak. …Tidak ada jawaban? …Baiklah, pak.”
Ia meng-klik tumitnya bersama-sama, mengangkat tangannya untuk memberi hormat, dan pergi.
Bab 3
MISTERI LAURISTON GARDEN
KU AKUI bahwa aku sangat terkejut atas bukti segar dari teori
kegunaan bakat temanku ini. Rasa hormatku akan kehebatan analisanya
meningkat secara menakjubkan. Masih tertinggal beberapa kecurigaan
tersembunyi di dalam pikiranku, bagaimanapun, keseluruhan peristiwa tadi
adalah peristiwa yang sudah diatur sebelumnya, bertujuan untuk
membuatku terpesona, meskipun demikian untuk apa ia membuatku terpesona.
Ketika aku memperhatikan dia; ia selesai membaca surat tadi, dan
matanya mengasumsikan kekosongan, ungkapan bingung yang menunjukkan
abstraksi mental.
“Apa yang membuatmu bisa tahu?” Tanyaku.
“Bisa tahu apa?” kata nya, dengan tidak sabar.
“Bisa tahu bahwa ia adalah pensiunan sersan Angkatan laut.”
“Aku tidak punya waktu untuk hal sepele ini,” ia menjawab, dengan kasar;
kemudian tersenyuman, “Maafkan kekasaranku tadi. kau mengacaukan
pemikiran ku; tetapi tidak apa-apa. Jadi kau benar-benar tidak bisa
lihat bahwa dia seorang sersan Marinir?”
“Tidak, tentu saja tidak.”
“Lebih mudah menjelaskan cara melihatnya daripada menjelaskan mengapa
aku bisa tahu. Jika kau diminta untuk membuktikan angka dua dan angka
dua dibuat menjadi empat, kau mungkin akan kesusahan, tetapi kau cukup
yakin hal yang menyangkut fakta. Bahkan di seberang jalan pun aku bisa
lihat tato jangkar biru tua di tangannya. Yang menandakan kelautan. Ia
membawa paket dari militer, ditambah lagi jambang yang merupakan
praturan militer. Dan kita simpulkan bahwa ia seorang marinir. Ia adalah
pria dengan sejumlah beban tugas dan perintah tertentu. kau harus
mengamati caranya mengadakan kepalanya dan mengayunkan tongkatnya.
Sigap, penuh hormat, setengah baya, juga, semua fakta di raut wajahnya
yang membuatku yakin bahwa ia pernah berpangkat sersan.”
“Mengagumkan!” kataku dengan tiba-tiba.
“Biasa saja,” kata Holmes, meskipun demikian, kalau dilihat dari
ekspresinya, ku pikir dia senang atas penghormatan dan keterkejutanku.
“Aku baru saja berkata tidak ada penjahat. Nampaknya aku salah soal
ini!” Ia melemparkan padaku surat yang dibawa komisaris tadi.
“Kengapa,” Aku berteriak, ketika menatapnya, “mengerikan kah?”
“Sepertinya sedikit tidak wajar,” katanya, dengan santai. “Maukah kau membacanya dengan suara keras untukku?”
Dan kemudia aku membacakan surat itu untuknya,-
“YTH. MR. SHERLOCK HOLMES: “Telah terjadi hal buruk pada pukul 3 dini
hari, di Lauriston Garden, di Brixton Road. Orang kami telah melihat
cahaya sekitar pukul 2 pagi ini, dan sebagai mana mestinya rumah itu
selalu kosong, diduga telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Pintunya
ditemukan terbuka, dan di ruang depan yang berisikan furnitur, diemukan
sesosok mayat pria, berpakaian dengan baik, dan di dalam sakunya
ditemukan sebuah kartu identitas yang menerangkan nama; Enoch J.
Drebber, Cleveland, Ohio, U. S. A. Tidak ada tanda-tanda perampokan,
maupun bukti yang menerangkan bagaimana kematiannya. Ada darah di dalam
ruang, tetapi tidak ada luka pada korban. Kami bingung bagaimana ia bisa
datang ke rumah yang kosong itu; sungguh, keseluruhan perkara menjadi
teka-teki. Jika anda sempat berkunjung ke tempat kejadian perkara
sebelum pukul 12, anda akan menemukan saya di sana. Saya sudah
melampirkan segalanya dalam paket ini sampai saya mendengar kesediaan
anda. Jika anda berkendala untuk datang, saya bersedia menyanggupi
pebayaran penuh untuk anda, dan kami akan sangat menghargai kebaikan
anda jika anda berkenan memberikan pendapat kepda kami.
“Hormat kami, “TOBIAS GREGSON.”
“Gregson adalah orang yang paling pandai di Scotland Yarders,” kata
temanku; “Dia dan Lestrade sering berselisih. Kedua-duanya begitu cakap
dan enerjik, tetapi kelewat-kolot. Mereka juga sanggup mencederai satu
sama lain. Mereka saling cemburuan satu sama lain dalam hal pekerjaan.
Mereka berdua akan sangat gembira jika diberikan kasus ini.”
Aku kagum atas sikap tenang yang ia tampilkan. “Tak ada waktu untuk
bingung,” Aku berteriak; “haruskah aku menyetopkan untukmu kereta kuda?”
“Aku tidak yakin apakah aku harus pergi. Aku seperti kerasukan setan
malas yang pernah berdiri di sepatu kulitku, di saat ketika aku
memutuskan, untuk bersemangat pada waktunya.”
“Kenapa?, ini kan kesempatan yang kau tunggu-tunggu.”
“Temankuku yang baik, apa itu berarti bagiku? Serkiranya aku memecahkan
keseluruhan kasus, kau mungkin yakin pasti Gregson, Lestrade, dan Co. akan mengantongi semua imbalannya. Mereka bisa menjadi seperti orang pasaran.”
“Tetapi ia memintamu untuk membantunya.”
“Ya. Dia tahu bahwa aku lebih baik dari nya, dan dia mengakuinya; tetapi
ia akan memotong lidahnya ke luar sebelum ia meminta bantuan orang ke
tiga. Walaupun begitu, kita sebaiknya pergi dan melihatnya sendiri. Aku
akan mengerjakannya dengan caraku sendiri. Aku mungkin akan ditertawakan
mereka, jika tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Ayo pergi!”
Ia buru-buru pada meraih mantelnya, dan sibuk menunjukkan bahwa sesuatu yang enerjik bisa mengalahkan sikap masa bodoh.
“Pakai topimu,” katanya.
“Kau ingin aku ikut?”
“Ya, kalau kau tidak sibuk.” Suatu menit kemudiannya kami sudah terlihat
tampan, mengemudi sepanjang Brixton Road sambil marah-marah.
Hari itu pagi yang berkabut, dan puncak atap rumahnya diselubungi warna
aneh yang mengganggu, menyerupai pemantulan warna lumpur dari jalanan.
Rekanku dalam keadaan bersemangat, dan mengoceh tentang gesekan biola
Cremona dan perbedaan antara Stradivarius dan Amati. Aku hanya duduk
dengan tenang, karena cuaca yang membosankan dan bisnis melankolis yang
membuat semangatku tertenekan.
“Sepertinya kau tidak dibebani pikiran atas kasus yang sedang kau
tangani,” Pada akhirnya aku berkata, menyela uraian musik Holmes.
“Belum ada data,” ia menjawab. “Adalah keliru besar untuk berteori
sebelum kita memiliki semua bukti. Bisa menimbulkan keputusan yang
menyimpang.”
“Sebentar lagi juga dapat,” kataku, menunjuk dengan jari ku; “Ini
Brixton Road, dan itu rumahnya, jika perkiraan ku tidak salah.”
“Ok… Stop, pak kusir, stop!” Kami masih kira-kira seratus yard, tetapi
dengan tegas ia meminta untuk berhenti, dan kami melanjutkan perjalanan
dengan jalan kaki.
Rumah Nomor 3, Lauriston Garden menyandang predikat buruk dan
menyeramkan. Satu dari empat jalan setapak tersambung dengan jalan
besar, dua sedang ramai dan dua lagi sedang kosong. Kemudian terlihat
tiga deret jendela sayu terbuka, kosong dan suram, mengayun
kesana-kemari “dibiarkan begitu saja” dan terlihat kartu mengembang
seperti katarak di atas kaca buram. Pekarangan kecil ditaburi dengan
sebaran tumbuh-tumbuhan mati yang memisahkan masing-masing rumah dengan
jalan, dan dilintasi oleh jalan kecil sempit, berwarna
kekuning-kuningan, dan berisikan campuran tanah liat dan kerikil.
Keseluruhan tempat sangat becek disebabkan hujan semalam. Kebun dibatasi
oleh tiga-sisi dinding batu bata dengan pinggiran kayu memagari puncak
tembok, dan dibalik dinding ini sedang bersandar informan polisi,
dikelilingi oleh sekumpulan kecil pemalas, yang menjulurkan leher mereka
dan membelalakkan mata mereka demi harapan sia-sia untuk memperoleh
beberapa kesalahan kerja.
Aku bisa membayangkan Sherlock Holmes akan bergegas menuju rumah dan
langsung terjun menyelidiki misteri ini. Tak terlihat hal lain yang
menghambat niatnya. Dengan sikap tidak ambil pusing dengan situasi
sekitar, dalam keadaan seperti ini, menurutku tak ada penghalang, ia
bergerak naik turun di trotoar, dan menatap hampa ke arah tanah, langit,
rumah, dan baris terali pagar. Setelah menyelesaikan penelitiannya
dengan cermat, ia meneruskan pelan-pelan sepanjang jalur, atau memandang
agak ke bawah sepanjang pinggiran rumput, terus memperhatikn tanah. Dua
kali ia berhenti, dan sesekali ku lihat dia tersenyum, dan mendengarnya
mengucapkan seruan kepuasan. Ada banyak jejak kaki atas lahan yang
basah; tetapi karena polisi sudah lalu lintas di sekitar sini, aku tidak
dapat melihat bagaimana rekanku bisa berharap mengetahui sesuatu dari
kondisi ini. Meski demikian aku sudah melihat bukti yang nyata
menyangkut kecakapan perpancainderanya, yang tidak ku ragukan lagi bisa
melihat sebagian besar yang hal tak mampu kulihat.
Di ambang pintu rumah, kami berhadapan dengan sesosok manusia jangkung,
pucat pasi, berambut pirang, sambil memegang sebuah buku catatan, yang
terburu-buru menjabat tangan rekanku dengan keras. “sungguh baik sekali
kau mau datang,” katanya, “Aku sudah memastikan segala yang tertinggal
agar tidak tersentuh.”
“Kecuali itu!” jawab temanku, menunjuk ke lorong. “Jika sekumpulan
kerbau liar ini belum pergi, mereka akan membuat lebih banyak sampah
lagi. Tidak diragukan lagi, walaupun begitu, kau mungkin sudah
menggambarkan kesimpulanmu sendiri, Gregson, sebelum kau diizinkan.”
“Aku sudah melakukan banyak hal di rumah ini,” kata detektif itu
mengelak. “Rekan kerjaku, Mr. Lestrade, ada di sini. Aku mempercayakan
dia untuk menjaga ini.”
Holmes melihatku sekilas dan mengangkat alisnya dengan sinis. “Dengan
dua manusia seperti kau dan Lestrade disekitar lantai, sedikit sekali
kesempatan kita untuk menemukan petunjuk-petunjuknya,” katanya.
Gregson menggosok-gosok tangannya dengan lega. “Aku pikir kami sudah
melakukan semua yang kami bisa,” jawabnya; “ini kasus yang aneh,
meskipun begitu, aku percaya akan kebolehanmu menangani kasus seperti
ini.”
“Kau datang ke sini dengan kereta kuda?” tanya Sherlock Holmes.
“Tidak, sir.”
“Lestrade juga tidak?”
“Tidak, sir.”
“Mari kita lihat ruangnya.” Dengan komentar yang tidak konsekuen ia
melangkah ke dalam rumah dan diikuti oleh Gregson, yang mukanya nampak
keheranan.
Jalan pintas yang pendek, dilapisi oleh papan dan berdebu, menuju dapur
dan ruang kerja. Dua pasang daun pintu terbuka di kiri dan kanan. Salah
satunya selalu tertutup selama beberapa minggu. Ruang lainnya merupakan
ruang makan, ruang di mana kejadian misterius ini terjadi. Holmes masuk,
dan aku mengikutinya dengan perasaan lemah di hatiku seperti kematian
sedang mengawasi.
Ruang itu petak dan besar, terlihat lebih besar jika tidak dihiasi semua
furnitur. Kertas yang melebar vulgar menghiasi dinding, namun sudah
ditumbuhi jamur, dan di sana sini banyak yang sudah terkelupas dan
tergantung, memperlihatkan plester kuning di belakangnya. Di seberang
pintu terlihat perapian yang mengesankan, dikelilingi tungku lempengan
yang terbuat dari pualam putih tiruan. Di salah satu sisnya tertancap
lilin merah. Jendela yang tertutup terlihat sangat kotor membuat cahaya
menjadi kusam dan samar-samar, memberi sedikit warna kelabu jemu ke
segala tempat, yang diperkuat dengan adanya lapisan debu yang tebal yang
melapisi keseluruhan apartemen.
Setelah semua detil selesai aku amati. Sekarang perhatianku aku pusatkan
pada satu hal, suram, figur tak bergerak berbaring telentang di atas
lantai papan, mengangak keatas, menatap ke arah langit-langit yang
kotor. Orang ini berumur sekitar 46 atau 44 tahun, badan berukuran
sedang, berbahu lebar, dengan rambut hitam keriting, dan pendek,
Berjenggot pendek. Ia berpakaian baju tenunan, mantel berat, dan rompi,
dengan celana panjang berwarna cerah, dan krag baju dan lipatan lengan
tak bernoda. Topi tinggi, di sikat dengan baik dan garis hiasan,
diletakkan di atas lantai di sampingnya. Tangannya mengepal tinju dan
lengannya jatuh ke lantai, selagi tungkai lengannya terapit, seolah-olah
perjuangannya melawan kematian begitu memilukan. Mukanya yang kaku
mengekspresikan kengerian, dan, menurutku, kebencian, tidak seperti
mansia pada umumnya. Hal yang membahayakan adalah tubuh yang mulai
membusuk, mengkombinasikan dengan dahi yang menguak, hidung bonyok, dan
rahang prognathous, memberi orang mati simious ganjil dan penampilan
seperti kera, yang membuat penderitaannya menjadi-jadi, perawakan tak
wajar. Aku sudah pernah melihat kematian dalam banyak bentuk, tetapi
belum pernah kulihat yang menakutkan seperti ini ditambah lagi suasana
gelap, apartemen kotor, yang sering terlihat di jalan utama pinggiran
kota London.
Lestrade, kurus seperti musang, sedang berdiri di jalan menuju pintu, dan menyambut aku dan rekanku.
“Kasus ini akan membuat kegemparan, sir,” katanya. “Kasus ini membuatku bingung, dan aku tidak punya ide lagi.”
“Apa ada petunjuk?” kata Gregson.
“Tidak sama sekali,” Kata Lestrade setuju.
Sherlock Holmes mendekati mayat itu, dan, berlutut, menganalisanya
dengan sungguh-sungguh. “kau yakin tidak ada luka?” tanyanya, menunjuk
sejumlah tanda darah yang berada di sekitarnya.
“Ya!” keluh kedua detektif tersebut.
“Mungkin saja darah itu kepunyaan orang kedua yaitu pembunuhnya, jika
pembunuhan memang terjadi. Hal ini mengingatkanku tentang kondisi yang
menyertai kematian Van Jansen, di Utrecht, pada tahun ‘34. Apa kau ingat
kasus itu, Gregson?”
“Tidak ingat, tuan.”
“Kau benar-benar perlu membacanya. Tidak ada hal yang baru di bumi ini. Semuanya pernah terjadi sebelumnya.”
Selagi ia bicara, jarinya dengan cepat dan cekatan terbang ke mana-mana,
merasakan, menekan, membuka kancing, menguji, Sementara itu matanya
menungkapkan ekspresi yang sama seperti yang pernah ku lihat. Cepat
sekali pengujian yang di lakukannya, yang satu ini susah ditebak
ketelitian yang mana yang dipakai. Akhirnya, ia mengendus-endus bibir
mayat, dan kemudian melihat sekilas tapak kaki sepatu bootnya yang
berliris kulit.
“Dia belum digerakkan sama sekali?” tanyanya.
“Tidak lebih dari sekedar kepentingan pengujian kami.”
“kau bisa membawanya ke kamar mayat sekarang,” katanya. “Tidak ada lagi yang bisa kita dipelajari.”
Gregson bergerak dan memanggil empat orang bawahannya. Begitu mendengar
panggilan, mereka langsung masuk ke ruangan, dan orang asing itu
diangkat serta dibawa keluar. Ketika mereka mengangkat mayat itu, sebuah
berdering cincin mengelinding menyeberangi lantai. Lestrade merebutnya,
dan matanya terlihat bingung dan terbelalak melihat cincin itu.
“Pernah ada perempuan di sini,” teriaknya. “Ini cincin kawin yang dipakaikan untuk wanita.”
Selagi ia berbicara, tangannya menengada sambil menunjukkan benda itu.
Kami semua berkumpul mengelilinginya dan mengamati benda itu. Tak
diragukan lagi, itu cicin emas yang menghiasi jari seorang pengantin
perempuan.
“Ini masalah yang rumit,” kata Gregson. “Hanya Tuhan yang tahu, serumit apa mereka sebelumnya.”
“Kau yakin benda ini akan menyederhanakan masalah kita?” Holmes
mengamatinya. “Tak ada paetunjuk dari benda ini. Apa yang kau temukan di
sakunya?”
“Sudah kami amankan semuanya,” kata Gregson, menunjuk ke tumpukan objek
yang ada di tangga. “Arloji emas, No. 97163, buatan Barraud, dari
London. Kalung emas Albert yang berat dan padat. Cincin emas, dengan
benda seperti jimat. Bros emas berkepala bull dog, dengan batu delima
seperti mata. Cardcase kulit dari Rusia, dengan kartu tanda pengenal
bertuliskan Enoch J. Drebber dari Cleveland, berhubungan dengan tulisan
E. J. D. di bagian garisnya. Tidak ada dompet, namun kehilangan uang
sejumlah tujuh pounds tigabelas sen. Decameron Boccaccio berukuran kecil
dengan nama Joseph Stangerson di halaman depan buku. Dua surat, yang
satunya beralamatkan E. J. Drebber dan satu lagi Joseph Stangerson.”
“Dialamatkan ke mana?”
“American Exchange, dikapalkan untuk ditinggalkan hingga ada panggailan.
Kedua surat ini berasal dari Guion Steamship Company, yang
memberangkatkan kapal mereka berlayar dari Liverpool. Jelas sekali orang
malang ini ingin kembali ke New York.”
“Sudahkah kau periksa orang yang bernama Stangerson ini?”
“Sudah, sir,” kata Gregson. “Aku sudah pasang iklan ke semua surat
kabar, dan salah satu anak buah saya sudah pergi ke American Exchange,
tetapi ia belum kembali.”
“Sudahkah mereka kau kirim ke Cleveland?”
“Kami sudah mengirim telegraf kepada mereka tadi pagi.”
“Bagaimana bunyinya?”
“Kami memberi mereka detil keadaannya, dan berkata bahwa kami akan
senang sekali jika mereka memberikan kita informasi yang bisa membantu.”
“Kau tidak menanyakan keterangan-keterangan khusus kepada mereka yang menurutmu krusial?”
“Aku tanya tentang Stangerson.”
“Tidak ada yang lain? Adakah kau ajukan pertanyaan lain mengenai keadaan
kasus ini? Maukah kau kirimkan lagi telegraf kepada mereka?”
“Aku sudah mengatakan apa yang harus ku katakan,” kata Gregson, dengan nada seperti habis diserang.
Sherlock Holmes tertawa kecil ke dirinya sendiri, dan mulai mengeluarkan
beberapa komentar, ketika Lestrade sedang berada di ruang depan sedang
kami bercakap-cakap di dalam aula, kembali bergabung sambil
menggosok-gosok kedua telapak tangannya dengan perasaan berpuas diri.
“Mr. Gregson,” katanya, “Aku baru saja membuat kesimpulan penting, dan
satu yang terlewatkan adalah aku belum menganalisis dinding-dinding
ini.”
Setiap pasang mata menyipit ketika ia berbicara, dan kegembiraannya
terlihat jelas meluap-luap seperti menang angka atas lawannya.
“Kemari,” katanya, buru-buru kembali ke ruang, atmospir ruangan serasa
lebih jelas sejak kepindahan jenazah tadi. “Sekarang, berdiri di sana!”
Ia menyalakan korek api dengan sepatu bootnya dan memeganginya menghadap dinding.
“Perhatikan itu!” katanya, dengan perasaan seperti pemenang.
Aku pernah berkata bahwa sebagian kertas (wallpaper) berjatuhan di sudut
tertentu ruangan ini, sudah terkelupas menjadi potongan besar,
meninggalkan plaster kuning yang kasar berbentuk persegi. Di ruang
kosong dinding terdapat tulisan cakar ayam yang ditulis dengan coretan
darah membentuk satu kata-
RACHE
“Apa pendapatmu?” kata sang detektif, layaknya seorang pemain sandiwara
mempertotonkan pertunjukannya. “Tulisan ini tidak terlihat karena kita
berada di sudut paling gelap, dan tak seorangpun mamandang ke sana.
Pembunuh telah menulisnya dengan darahnya sendiri. Terlihat corengan
darah menetes di sepanjang dinding! Membuat semacam gagasan bunuh diri.
Mengapa sudut ini dipilih untuk ditulis? Aku akan menjelaskannya kepada
kalian. Lihat lilin yang berada di atas tungku lempengan itu. Lilin itu
dinyalakan pada waktunya, dan jika dinyalakan, sudut ini akan menjadi
paling terang sebagai pengganti porsi dinding paling gelap.”
“Dan apa artinya jika kau menemukan tulisan ini?” tanya Gregson dengan suara rendah.
“Arti? Kenapa, ini berarti, penulis meletakkan nama seorang wanita
“Rachel”, tetapi diganggu sebelum pria atau wanita ini punya waktu untuk
menyelesaikannya. Camkan kata-kataku, ketika kasus ini dipecahkan, kau
akan menemukan seorang wanita bernama Rachel punya andil dalam penulisan
ini. Semuanya bagus sekali untuk kau tertawakan, Mr. Sherlock Holmes.
Kau mungkin sangat pandai dan cerdas, tetapi penciuman anjing tua lebih
baik ketika semua sudah terungkap.”
“Aku benar-benar meminta maafmu!” kata rekanku, yang tergganggu oleh
ledakan kemarahan orang kecil ini yang disusul dengan ledakan tawa. “Kau
pasti akan dapat penghargaan karena telah menjadi salah satu dari orang
pertama yang menemukan tulisan ini, seperti yang kau katakan, tulisan
ini mencirikan partisipan lain yang hadir pada malam misteri. Aku tidak
punya waktu untuk menguji ruang ini, namum dengan ijinmu aku akan
melakukannya sekarang.”
Seperti katanya, ia mengeluarkan pita meteran dan kaca pembesar dari
sakunya. Dengan dua peralatan ini ia berderap tanpa suara di sekitar
ruangan, kadang-kadang berhenti, adakalanya berlutut, dan sesekali
menempelkan mukanya. Begitu asiknya ia, hingga melupakan kehadiran kami,
mengoceh sendiri sepanjang waktu, terus-menerus menyuarakan tanda seru,
erangan, siulan, dan sedikit teriakan dorongan sugestif serta teriakan
harapan. Ketika aku melihat dia, aku tertarik memikirkan tentang anjing
foxhound berdarah murni yang terlatih mengendus-endus maju-mundur sampai
ke tempat rahasia, melolong dengan penuh hasrat, sampai kemudian baunya
menghilang. Selama duapuluh menit atau lebih ia melanjutkan risetnya,
mengukur jarak antara tanda dengan lebih eksak, yang keseluruhnya tidak
kelihatan bagiku, dan adakalanya memakai pita ukurnya untuk mengukur
dinding dengan cara yang tidak dapat dimengerti. Pada suatu tempat ia
mengumpulkan tumpukan debu berawarna kelabu dari lantai dengan sangat
hati-hati, dan mengemasnya ke dalam amplop. Akhirnya ia menganalisa
kata-kata di atas dinding dengan kaca pembesarnya, mengarah ke tiap kata
dengan ketepatan menit terbanyak. Setelah selesai, ia terlihat puas,
karenanya ia memindahkan pita ukur dan kaca pembesarnya ke dalam
sakunya.
“Mereka berkata bahwa kegeniusan adalah suatu kapasitas tanpa batas
untuk bekerja dengan hati-hati,” katanya dengan senyuman. “Adalah suatu
definisi yang amat buruk, Namun berlaku bagi pekerjaan detektif.”
Gregson dan Lestrade melihat manuver rekan amatir mereka dengan anggapan
aneh dan pandangan menghina. Jelas sekali mereka gagal menghargai
fakta, dan aku mulai menyadarinya. Semua tindakan kecil Sherlock Holmes
langsung mengarah ke beberapa defenisi dan praktiknya.
“Apa pendapat anda tentangnya, sir?” tanya mereka berdua.
“Kalian akan kehilangan penghargaan dari kasus ini jika aku mengira
harus menolong kalian,” kata temanku. “Kalian sudah bekerja dengan
sangat baik, sayang sekali rasanya bagi siapa saja untuk ikut campur.”
sindiran yang tajam keluar dari mulutnya. “Jika kalian mau memberitahuku
bagaimana hasil penyelidikan kalian,” lanjutnya, “Aku akan membantu
kalian semampuku. Sementara itu aku perlu bicara kepada petugas polisi
yang menemukan mayat itu. Bisakah kalian memberi tahuku nama dan
alamatnya?”
Lestrade melihat sekilas buku catatannya. “John Rance,” katanya. “Ia
bebas tugas sekarang. kau akan temukan dia di rumah no. 46, Audley
Court, Kennington Park Gate.”
Holmes mencatat alamat itu.
“Kemarilah, Dokter,” katanya: “kita akan pergi dan mengunjunginya. Aku
akan menceritakan kepada kalian satu hal yang akan membantu kalian
menangani kasus ini,” lanjutnya, sambil berbalik ke kedua detektif tadi.
“Telah terjadi pembunuhan, dan pembunuhnya adalah seorang pria.
Tingginya lebih dari enam kaki, masih berusia remaja, kakinya kecil
untuk orang setingginya, mengenakan sepatu boot bermoncong petak kasar,
dan tersundut cerutu Trichinopoly. Ia datang ke sini bersama korbannya
menumpang kendaraan beroda 4, yang ditarik dengan kuda yang memakai tiga
sepatu tua dan satu sepatu baru di bagian kaki depannya. Kemungkinan
pembunuh memiliki muka kemerah-merahan, dan kuku di jari tangan kanannya
sungguh panjang. Ini hanya sedikit indikasi, tetapi bisa membantu
kalian.”
Lestrade dan Gregson melihat sekilas satu sama lain dengan senyuman
tidak percaya. “Jika orang ini dibunuh, bagaimana pembunuhan itu
dilaksanakan?” tanya yang lebih dahulu. “Racun,” Kata Sherlock Holmes
dengan kasar, dan berhenti melangkah. “Satu hal lagi, Lestrade,” ia
menambahkan, sambil berputar ke ambang pintu: “‘Rache,’ adalah bahasa
Jerman yang memiliki arti ‘balas dendam’; jadi jangan habiskankan waktu
kalian mencari Nona Rachel.” Dengan salam perpisahan ia berjalan pergi,
meninggalkan kedua saingannya melongo di belakang.
Bab 4
APA YANG HARUS DICERITAKAN OLEH JOHN RANCE
WAKTU menunjukkan pukul satu ketika kami meninggalkan rumah no. 3,
Lauriston Garden. Sherlock Holmes membawaku ke kantor telegraf terdekat,
dari sana ia mengirim sederetan telegram yang panjang. Ia kemudian
menyetop kereta kuda, dan meminta si kusir untuk mengantar kami ke
alamat yang kami peroleh dari Lestrade.
“Tidak ada bukti otentik,” katanya; “Sebetulnya, seluruh pikiranku
terpusat pada kasus ini, tetapi tetap saja kita bisa belajar dari semua
yang harus dipelajari.”
“Kau membuatku kagum, Holmes,” kataku. “Pastinya kau tidak begitu yakin atas semua petunjuk yang kau berikan.”
“Tak ada ruang untuk kekeliruan,” ia menjawab. “Hal pertama yang ku
mengamati sewaktu tiba di sana adalah bahwa kereta kuda membuat dua
berkas jalur dengan rodanya mendekat ke pinggiran jalan. Sekarang,
mengingat semalam tidak turun hujan selama seminggu, menyebabkan roda
kendaraan yang dipakainya meninggalkan bekas yang dalam dan menandakan
kejadian itu terjadi semalam. Ada tanda sepatu kuda juga, bentuk salah
satunya jauh lebih jelas dibandingkan dengan tiga lainnya, menunjukkan
bahwa itu adalah sepatu baru. Karena kendaraan itu sudah berada di sana
setelah hujan dimulai, dan tidak di sana lagi sepanjang pagi ini –
seperti yang dikatakan Gregson - itu artinya kendaraan itu berada di
sana sepanjang malam, dan membahwa kedua orang itu ke rumah no. 3.”
“Kelihatannya cukup sederhana,” kataku; “tetapi bagaimana tentang tinggi orang yang satunya?”
“Kenapa…, tingginya seseorang…, sembilan dari sepuluh kasus, tinggi
seseorang dapat diketahui dari panjang langkah kakinya. Perhitungannya
cukup sederhana, meskipun demikian tidak ada gunanya memberitahumu. Aku
tahu soal langkah kaki mereka dari tanah liat yang ada di luar dan debu
di sekitar. Kemudian ku periksa dengan perhitunganku. Ketika seseorang
menulis sesuatu di dinding, nalurinya akan mempimpin tangannya untuk
menulis ke tingkat lebih tinggi dari ketinggian pandangan matanya. Dan
tinggi tulisan tadi enam kaki dari lantai. Hal seperti itu pekerjaan
yang sangat mudah.”
“Dan umur nya?” Tanyaku.
“Well, jika seseorang dapat melangkah empat setengah kaki tanpa susah
payah, berarti orangnya tidak bisa diam. Genangan lebar di jalanan
kebun, dengan jelas menunjukkan bahwa ia berjalan menyeberangi kebun.
Tapak sepatunya ada di sana-sini, dan tapak sepatu boot bermoncong petak
menggambarkan loncat-loncatan di atas lantai. Sama sekali tidak ada
misteri di sana. Sederhananya, aku membiasakan hidup untuk belajar
mengamati dan mengambilan keputusan seperti yang ku anjurakan dalam
artikel itu. Ada yang lain yang membingungkanmu?”
“Kuku jari dan Trichinopoly,” usulku.
“Tulisan di dinding dibuat dengan menggunakan jari telunjuk manusia yang
dicelupkan dengan darah. Dengan kaca pembesarku aku bisa melihat bahwa
plester sedikit digores dalam pembuatannya, dan belum pernah terjadi
seorang pria manghiasi kukunya. Aku mengumpulkan serakan abu dari
lantai. Abu itu menjadi gelap jika tertimpa warna dan lapisan - abu
seperti itu hanya dihasilkan oleh cerutu Trichinopoly. Aku pernah
bereksperimen dengan abu cerutu, dan menulisnya ke dalam bentuk
monografi. Aku bangga pada diriku sendiri karena bisa membedakan abu
dari beberapa merek cerutu maupun tembakau terkenal dengan sekali lihat.
Ini baru soal detil saja yang membedakan skil detektifku dengan skil
detektif Gregson dan Lestrade.”
“Dan muka yang kemerahan?” Tanyaku.
“Ah, itu hanya tebakanku saja, meskipun demikian aku yakin tebakanku
benar. Kau seharusnya tidak menanyakannya di saat-saat begini.”
Ku pukul keningku sendiri, sambil berkata. “Kepalaku pusing,”
“Semakin orang berpikir tentang tentang kasus ini semakin misterius
jadinya. Bagaimana bisa dua orang ini - jika memang ada dua orang -
masuk ke rumah kosong? Apa yang terjadi pada kusir yang memandu mereka?
Bagaimana bisa seorang memaksa orang lain untuk meminum racun? Dari mana
datangnya darah? Apa yang menjadi obyek pembunuh, apakah ada indikasi
perampokan? Bagaimana cincin perempuan bisa ada di sana? Lebih dari itu,
mengapa orang kedua menulis kata “RACHE”, dalam bahasa Jerman, sebelum
kabur? Aku sama sekali tidak bisa melihat kemungkinan apapun untuk
mengaitkan semua fakta ini.”
Rekanku tersenyum seperti memikirkan hal yang sama.
“Kau meringkas semuanya dengan jelas dan padat,” katanya. “Ada banyak
yang masih kabur, meskipun demikian pikiranku sudah sampai pada
fakta-fakta utama. Sebagaimana hasil penyelidikan Lestrade yang malang,
sederhananya adalah berasumsi bahwa polisi salah dalam penyelidikan
awal, dengan memberi kesan Sosialisme dan “secret societies”. Tulisan
itu bukan ditulis oleh orang Jerman. Huruf A, jika kau menyadarinya,
ditulis bukan dengan gaya penulisan jerman. Karena gaya tulisan Jerman
bukan huruf cetak namun huruf Latin, sehingga kita bisa mengsumsikan
bahwa dia bukanlah orang jerman, tetapi seseorang peniru yang masih kaku
dan melebih-lebihkan pekerjaannya. Sederhananya suatu tipuan untuk
mengalihkan pemeriksaan polisi. Aku tidak akan menceritakan kepadamu
lebih jauh lagi menyangkut kasus ini, Doktor. Kau tahu…, seorang pesulap
tidak akan mendapat uang ketika triknya sudah terbongkar; dan jika aku
menunjukkanmu metode kerjaku terlalu banyak, kau akan berkesimpulan
bahwa aku adalah orang yang biasa saja.”
“Aku tidak akan pernah melakukannya,” jawabku; “pendeteksimu sangat
mendekati konsep-konsep ilmiah sebagaimana konsep-konsep ilmiah yang
pernah ada.”
Rekan ku kelihatannya senang akan kata-kata ku, yang ku ucapkan dengan
sungguh-sungguh. Aku bisa melihat dia begitu sensitip atas rayuan
seperti anak gadis yang dipuji kecantikannya.
“Aku akan menceritakan padamu satu lagi,” katanya. “Tapak sepatu
berliris-kulit dan Tapak sepatu-petak datang dari kendaraan yang sama,
dan mereka berjalan sepanjang jalan kecil bersama-sama selayaknya dua
orang teman, bahkan mungkin saling merangkul, semua kemungkinan
menunujukan begitu. Ketika mereka berada di dalam rumah, mereka
mondar-mandir di ruangan itu, Tapak sepatu berliris-kulit berdiri diam
selagi Tapak sepatu-petak mondar-mandir. Aku bisa membaca semuanya dari
jejak tapak sepatu yang dibentuk oleh debu; dan aku bisa membaca
gerakannya semakin lama semakin banyak. Itu ditunjukkan oleh peningkatan
panjang yang dibentuk langkah kakinya. Ia berbicara terus-menerus, dan
sibuk sendiri dalam keadaan marah. Kemudian terjadilah pembunuhan itu.
Aku sudah menceritakan semua yang ku tahu kepadamu, dan sisanya hanya
dugaan semata. Kita punya awal yang baik untuk memulai penyidikan. Kita
harus bergerak cepat, karena Aku ingin nonton Konser Halle sore ini
untuk menikmati suara Norman Neruda.”
Percakapan ini terjadi selagi kami berada di dalam kereta kuda yang
sedang menulusuri serangkaian jalan kecil nan panjang, kumal dan suram.
Di jalan yang paling kumal dan suram, kusir kami tiba-tiba berhenti.
“Itu dia Audley Court, di dalam sana,” katanya, menunjuk ke celah sempit
di baris batu bata berwarna gelap. “Aku akan menunggu kalian di sini.”
Audley Court bukanlah tempat yang menarik. Lintasan jalan yang sempit
membawa kami ke trotoar segi-empat dengan bendera-bendera yang dihiasi
dengan gambar-gambar mesum. Kami menelusuri jalan melewati sekelompok
anak gelandangan, dan menembus jalanan yang kotor, sampai kami tiba di
rumah Nomor 46, pintunya dihiasi dengan segelintir kuningan yang
membentuk nama Rance. Setiba kami di sana ternyata sang petugas polisi
itu sedang berada di kamar tidur, dan kami diminta untuk menunggunya di
ruang tamu.
Ia muncul dengan segera, wajahnya terlihat sedikit marah karena merasa
telah diganggu dari tidurnya yang nyenyak. “Aku sudah menyelesaikan
laporanku di kantor,” katanya.
Holmes mengambil 1/2 sovereign (mata uang emas) dari sakunya dan
memainkannya dengan penuh pertimbangan. “Kami rasa kami perlu mendengar
semuanya langsung darimu,” katanya.
“Aku akan senang sekali menceritakan semua yang ku tahu kepada kalian,”
jawab petugas polisi itu, dengan mata yang sedikit keemasan.
“Ceritakan kepada kami semua yang kau amati ketika kejadian itu terjadi.”
Rance duduk di atas sofa bulukuda, dan mengerutkan keningnya,
seolah-olah diperintahkan untuk tidak mengabaikan apapun dalam
ceritanya.
“Aku akan menceritakannya dari awal,” katanya. “Waktu jagaku mulai dari
pukul sepuluh malam sampai pukul enam pagi. Pada pukul sebelas terjadi
perkelahian di White Hart; namun keadaan bar itu masih cukup tenang.
Hujan turun pada pukul satu, dan aku bertemu dengan Harry Murcher - Si
pemilik Holland Grove - dan kami sama-sama berdiri di sudut jalan
Henrietta dan bercakap-cakap. Sesegera - mungkin sepatah duapatah kata -
ku pikir aku harus berjaga untuk memastikan semuanya baik-baik saja di
sepanjang Brixton Road. Waktu itu suasana sangat sunyi dan kotor. Tidak
ada seorangpun yang ku temui di sepanjang jalan, tiba-tiba satu atau dua
buah kendaraan melewatiku. Aku mulai berjalan, dan berfikir dalam hati,
tidak ada salahnya jika ditemani dengan empat gelas gin hangat,
kemudian tiba-tiba mataku menangkap kilatan cahaya dari jendela yang
rumahnya kembar. Yang sekarang ku ketahui bahwa dua rumah yang berada di
dalam Lauriston Garden itu adalah rumah kosong lantaran pemilikinya
tidak mau mengurusinya lagi, meskipun demikian penyewa terakhir yang
pernah tinggal di salah satu rumah itu meninggal karena penyakit demam
tipus. Aku mengetuk pintunya, dan kemudian, dari cahaya yang terlihat di
jendela, aku menduga ada yang salah. Ketika aku mulai membuka pintu–”
“Berhenti dulu…., dan kau kemudian berjalan kembali ke gerbang kebun,”
rekanku menyela. “Untuk apa kau lakukan itu?” Rance melompat terkejut,
dan terbelalak melihat Sherlock Holmes dengan kekaguman yang mendalam
atas ucapannya tadi.
“Mengapa…, benar sekali.., sir…,” katanya; “Tapi bagaimana kau tahu,
hanya Tuhanlah yang tahu. Kau lihat ketika aku mencapai pintu, waktu itu
sangat hening dan sepi, di pikiranku adalah akan lebih baik jika ada
seseorang bersamaku. Aku tidak takut apapun meskipun berada di sebelah
kuburan; tetapi ku pikir barangkali dia meninggal terkena penyakit
tipus. Pikiranku mengatakan untuk memutar, dan aku berjalan kembali ke
gerbang berharap bisa melihat lentera Murcher, tetapi tidak ada
tanda-tanda dari dia maupun orang lain.”
“Tak ada seorang pun di jalanan itu?”
“Tak satu jiwa pun, sir, bahkan anjing pun tidak. Kemudian aku kembali
ke pintu dan mendorongnya. Di dalamnya sunyi senyap, kemudian aku
memasuki ruangan di mana cahaya itu menyala. Ada suatu kerlipan lilin di
atas tungku lempengan - sebuah lilin merah - dan dengan cahayanya lah
aku bisa melihat–”
“Ya, aku tahu semua yang kau lihat. Kau berjalan mengeliling ruangan
beberapa kali, dan kau berlutut untuk melihat mayatnya, dan kemudian kau
berjalan melewatinya dan mencoba membuka pintu dapur, dan kemudian–”
John Rance terperanjak, terlihat di matanya kecurigaan dan ketakutkan.
“Di mana kau bersembunyi untuk melihat semua ini?” teriaknya. “Nampaknya
kau lebih tahu dari pada yang seharusnya.”
Holmes tertawa dan melemparkan kartunya ke seberang meja menuju ke
petugas polisi itu. “Tidak…, Jangan tangkap aku karena pembunuhan ini,”
kata Holmes. “Aku hanya salah satu dari anjing pelacak dan bukan
serigala; Mr. Gregson atau Mr. Lestrade bersedia melakukannya. Tapi…,
meskipun begitu… apa yang kau lakukan berikutnya?”
Rance kembali ke tempat duduknya tanpa kehilangan ekspresi bingungnya.
“Aku kembali ke gerbang dan membunyikan peluitku. Suaranya membawa
Murcher beserta dua orang atau lebih ke rumah itu.”
“Bukankah waktu itu jalanan kosong?”
“Well, memang, sejauh berniat baik sesiapapun pasti akan datang.”
“Apa maksudmu?”
Raut muka petugas polisi itu meluas ke dalam sebuah seringai. “Aku sudah
sering melihat anak muda mabuk-mabukan di setiap aku bertugas,”
katanya, “tetapi tidak pernah melihat orang sekecil itu mabuk-mabukan.
Ia berdiri di gerbang ketika aku muncul, bersandar di atas terali pagar,
dan bernyanyi dengan titik nada di dada tentang model banner Columbine
terbaru, atau beberapa hal semacam itu. Ia tidak bisa berdiri, melainkan
dengan sedikit bantuan.”
“Sependek apa dia?” tanya Sherlock Holmes.
John Rance terlihat sedikit terganggu atas pertanyaan ini. “Dia seorang
pria pemabuk yang pendeknya tak wajar,” katanya. “Ia tidak akan bisa
terlihat di stasiun jika kita belum pernah melihatnya.”
“Wajahnya - pakaiannya - tidakkah kau mengenalinya?” Holmes tiba-tiba memotong dengan tidak sabar.
“Ku rasa aku bisa mengenalinya, mengingat bahwa aku yang lebih dulu
menyangganya berdiri dan Murcher di antara kami. Ia seorang pemuda yang
panjang, dengan muka kemerah-merahan, bahagian yang lebih rendah
terendam keliling–”
“Itu dia pelakunya,” teriak Holmes. “Apa yang terjadi padanya?”
“Kami tidak mengejarnya,” kata polisi itu, dengan suara kecewa. “Aku berani bertaruh, ia pasti bisa menemukan jalan pulang.”
“Bagaimana ia berpakaian?”
“Memakai mantel warna coklat.”
“Apakah dia memegang semacam cemeti?”
“Cemeti - ku rasa tidak.”
“mungkin ia meninggalkan nya di belakang…,” rekan ku berkomat-kamit.
“Kemudian setelah itu kau tidak melihat atau mendengar suara kendaran?”
“Tidak.”
“Ini 1/2 sovereign untukmu,” kata rekan ku, sambil berdiri dan mengambil
topinya. “Aku takut, Rance, kalau kau tidak akan pernah naik jabatan.
Guna kepalamu itu hanya untuk perhiasan. Kau mungkin bisa bangga akan
liris sersanmu semalam. Orang yang semalam kau pegangi dengan tanganmu
itu adalah kunci dari misteri ini, dan dialah yang sedang kita cari.
Tidak ada gunanya berargumen tentang ini sekarang; Ku beri tahu kau ini
sungguh-sungguh. Ayo pergi, Doktor.”
Kami naik kereta kuda bersama-sama, meninggalkan informan kami yang bukan hanya masih tidak percaya, namun juga tampak gelisah.
“Orang bodoh!” kata Holmes, dengan pahit, selagi kami kembali ke
penginapan. “Coba pikir, dia bisa memperoleh sedikit keberuntungan yang
tak ada bandingannya, tapi tidak diambilnya.”
“Aku masih bingung. Mungkin ada benarnya perihal deskripsi tinggi orang
ini, dengan gagasanmu tentang bagian kedua dari misteri ini. Tetapi
mengapa ia kembali ke rumah itu setelah meninggalkannya? Tindakannya
bukan cara-cara kriminal.”
“Cincin nya bung…, cincin nya…: itulah alasan dia kembali. Jika kita
tidak punya cara lain untuk menangkapnya, kita bisa menjadikan cincin
itu sebagai umpan. Aku akan mengambilnya, Doctor - aku akan meletakkan
kalian berdua pada satu tempat dan aku akan menangkapnya. Aku harus
berterimakasih kepadamu untuk semua ini. Aku mungkin sudah tersesat jika
tadak ada kau, dan juga luput dari studi terbaik yang pernah aku
jalani; Penelusuran Benang Merah, eh? Kenapa juga kita tidak menggunakan
sedikit jargon seni. Ada berkas merah pembunuhan yang sedang berlari
menembus gulungan kehidupan tak berwarna, dan tugas kita adalah
membongkar kekusutannya, dan mengisolasinya, dan menyingkapnya inci demi
inci. Dan sekarang waktunya makan siang, dan kemudian Norman Neruda.
Serangannya dan jilatannya nikmat sekali. Gimana irama kecil permainan
Chopin…? dia main dengan sempurna: Tra-La-La-Lira-Lira-Lay.”
Bersandar di dalam kereta kuda, amatir berdarah anjing ini menyanyi
seperti burung yang sedang gembira selagi aku bermeditasi tentang
berbagi sisi pemikiran manusia.
Bab 5
IKLAN KAMI MENGUNDANG PENGUNJUNG
AKTIVITAS pagi kami sudah terlalu banyak, dan karena kesehatanku
yang lemah, aku menjadi lelah di sore harinya. Setelah Holmes pergi ke
konser, aku merebahkan diri di atas sofa dan mencoba untuk tidur
beberapa jam. Namun sia-sia. Pikiranku dipenuhi oleh semua hal yang baru
saja terjadi, dan khayalan yang aneh dan dugaan-dugaan yang
memenuhinya. Setiap kali aku menutup mata, Aku melihat kesimpangsiuran
di hadapanku, sepertinya baboon yang membunuh orang itu. Begitu
menakutkan kesan yang ditimbulkan wajah mayat itu, dan sukar rasanya
untuk berandai-andai kecuali berterima kasih kepadaNYa yang telah
memindahkan pemilik tubuh itu dari dunia ini. Jika sekiranya ada raut
muka manusia yang mencerminkan sifat buruk yang paling jahat, pastilah
raut muka Enoch J. Drebber, dari Cleveland. Meskipun demikian, aku
menyadari bahwa keadilan harus ditegakkan, dan dalam pandangan hukum
kerusakan moral korban tidak bisa dimaafkan.
Semakin aku memikirkannya semakin luar biasa hipotesis rekanku, bahwa
kelihatannya korban telah diracuni. Aku ingat bagaimana ia
mengendus-endus bibir mayat itu, dan tidak diragukan lagi bahwa dia
telah mendeteksi sesuatu yang menimbulkan gagasan itu. Lagi pula, jika
bukan racun, hal apa lagi yang bisa menyebabkan kematian orang ini,
karena tidak ada luka tanda pencekikan? Tetapi, pada sisi lain, darah
siapa yang bergelinang di atas lantai? Tidak ada tanda-tanda
perkelahian, maupun senjata korban yang mungkin bisa melukai musuhnya.
Sepanjang semua pertanyaan ini masih belum terjawab, aku merasa bahwa
tidur bukanlah hal yang gampang, baik untuk Holmes maupun diriku.
Ketenangan sikapnya, meyakinkanku bahwa ia sudah membetuk teori yang
dapat menerangkan semua fakta ini, meskipun demikian apa yang membuatku
tidak bisa membuat dugaan-dugaan instan.
Ia terlambat pulang - sangat terlambat, konser tidak mungkin menahan dia
selama ini. Makan malam sudah di atas meja sebelum ia muncul.
“Konser yang bagus sekali,” katanya, ketika dia mengambil tempat duduk
nya. “Apakah kau ingat apa yang dikatakan Darwin mengenai musik? Dia
meng-klaim bahwa kekuatan menilai dan menghasilkan musik sudah ada jauh
sebelum kemampuan berbicara ada. Barangkali itu alasan mengapa kita
menjadi sangat dipengaruhi oleh kerumitannya. Ada memori yang
samar-samar di jiwa kita berabad-abad yang lalu ketika dunia masih masa
kanak-kanak.”
“Gagasan yang agak luas,” Kataku.
“Gagasan seseorang harus sama luasnya seperti Alam jika mereka
menginterpretasikan nya dengan Alam,” jawabnya. “Ada apa? kau tidak
terlihat seperti dirimu. Apakah kejadian di Brixton Road tadi membuatmu
terganggu.”
“Sejujurnya…, memang membutku terganggu…,” Kataku. “Seharusnya aku lebih
kuat, terhadap kasus ini, setelah pengalamanku di Afghan. Aku melihat
teman-temanku tercincang berkeping-keping di Maiwand tanpa rasa gugup.”
“Aku bisa mengerti… Ada misteri dalam kasus ini yang merangsang
imajinasi; ‘tidak ada imajinasi tidak ada kengerian’. Sudahkah kau baca
‘koran sore’ hari ini?”
“belum.”
“Beritanya memberi kita peluang yang bagus menyangkut kasus ini.
Beritanya tidak menyebutkan soal cincin kawin yang jatuh ke atas lantai
ketika mayat itu diangkat. Memang… sebaikya tidak disebutkan.”
“Kenapa?”
“Perhatikan iklan ini,” ia menjawab. “Aku sudah kirim orang untuk
memuatnya di setiap koran begitu kita meninggalkan Brixton Road tadi
pagi.”
Ia melemparkan korannya kepadaku dan aku melirik ke bagian yang
ditandai. Iklan itu menjadi pengumuman yang pertama di dalam ‘Telah
ditemukan’ kolom. ‘Di Brixton Road, pagi ini,’ sebagai berikut, ‘sebuah
cincin kawin emas, dimukan di jalan di antara White Hart Tavern dan
Holland Grove Hart. Hubungi Dr. Watson, 221B, Baker Street, sekitar
pukul delapan dan pukul sembilan malam ini.’
“Maafkan jika aku menggunakan namamu,” katanya. “Karena jika menggunakan
namaku, orang-orang bebal ini bisa mengenalinya, dan mereka akan
mengacaukan kasus ini.”
“Tak apa,” Jawabku. “Tapi…, sekiranya ada orang yang menghubungiku, dan aku tidak punya cincinnya.”
“Oh, ya, kau punya,” kata nya, mengatakannya kepada ku. “Tidak masalah… hanya sebuah facsimile.”
“Dan siapa yang kau harapkan akan menjawab iklan ini?”
“Siapa…, orang dengan jeket warna coklat - teman kemerah-merahan kita
dengan tapak sepatu petak. Jika ia tidak datang sendirian…, ia akan
mengirimkan suruhannya.”
“Tidakkah ia berfikir ini terlalu berbahaya?”
“Sama sekali tidak. Jika pandanganku menyangkut kasus ini benar, dan aku
juga punya alasan yang kuat, orang ini lebih suka mengambil resiko
apapun dari pada harus kehilangan cincinnya. Menurut dugaanku ia
menjatuhkan cincin itu selagi membungkuk di atas mayat Drebber, dan pada
waktu itu dia tidak merasa kehilangan. Ia baru merasa kehilangan
setelah meninggalkan rumah itu dan cepat-cepat kembali, namun polisi
sudah berada di dalam rumah itu dan ia menyesali kebodohannya sendiri
karena telah membiarkan lilin menyala. Ia harus berpura-pura mabuk untuk
menghilangkan kecurigaan yang mungkin timbul karena kemunculannya di
depan gerbang. Sekarang, seandainya dirimu adalah dia. Setelah
memikirkan iklan tadi, kemungkinannya, dia pasti berfikir bahwa dia
telah kehilangan cincin itu di jalan setelah meninggalkan rumah itu. Apa
yang ia lakukan kemudian? dia akan melihat ‘koran sore’ ini dengan
penuh nafsu dan berharap akan melihat cincin itu karena ada orang yang
menemukannya. Matanya, tentu saja, akan berbinar-binar. Ia akan sangat
gembira. Kenapa juga ia harus takut terperangkap? Tidak ada alasan
baginya untuk berfikir tentang hubungan antara kasus pembunuhan dan
penemuan sebuah cincin. Ia akan datang… Ia akan datang… Kau akan
melihatnya selama satu jam.”
“Dan kemudian?” Tanyaku.
“Oh, kau bisa meninggalkan kami berdua. Kau punya senjata?”
“Aku punya pistol revolver tua dan beberapa magazine.”
“Sebaiknya kau membersihkannya dulu lalu mengisinya. Ia akan menjadi
orang yang menyedihkan; tapi, meskipun demikian, aku harus beranggapan
bahwa dia orang yang tidak bisa diduga, dan selalu siap apapun yang akan
terjadi.” Aku pergi ke kamarku dan mengikuti nasihatnya. Ketika aku
kembali dengan pistol ditanganku, meja sudah dibersihkan, dan Holmes
sibuk dengan posisi duduk favoritnya yaitu mengesek biola.
“Alur cerita menjadi rumit,” katanya, ketika aku masuk; “Aku baru saja
menerima jawaban dari telegram Amerika ku. Pandanganku atas kasus ini
ternyata benar.”
“Dan itu adalah- -?” tanyaku dengan bernafsu.
“Biolaku akan lebih baik dengan dawai-dawai baru,” katanya. “Kantongin
pistolmu. Ketika orang itu datang, bicara padanya dengan cara yang
biasa. Sisanya, serahkan kepadaku. Jangan menakutinya dengan pandangan
yang terlalu tajam.”
“Sudah pukul delapan sekarang,” kata ku, melihat sekilas arlojiku.
“Ya. Ia mungkin akan tiba dalam beberapa menit lagi. Buka pintunya… Ya
begitu… Sekarang letakkan kuncinya di bagian dalam. Terima kasih! Ini
buku tua yang aneh, aku memungutnya dari stall kemarin - De Jure inter
Gentes - diterbitkan dalam bahasa Latin di Liege, Lowlands, pada tahun
1642. Kepala Charles dipastikan masih ada di badannya ketika volume buku
ini dihentikan edarannya.”
“Siapa pencetaknya?”
“Philippe de Croy, ntah siapapun dia…. Di halaman pertama, tintanya
sudah sangat memudar, tertulis ‘Ex libris Guliolmi Whyte.’ Aku ingin
tahu siapa William Whyte. Semacam pengacara pragmatical abad ke-17,
mungkin saja… Tulisannya memiliki semacam suatu simpulan undang-undang.
Aku rasa orang yang kita tunggu sudah datang…”
Seperti katanya tadi, terdengar suara bel yang tajam. Sherlock Holmes
bangkit pelan-pelan dan memindahkan kursinya ke arah pintu. Kami
mendengar si pelayan berjalan sepanjang aula, dan terdengar dengan tajam
suara ‘klik’ grendel pintu ketika dia membukanya.
“Apakah Dr. Watson tinggal di sini?” dia bertanya dengan nada jelas
namun kasar. Bukan jawaban si pembantu yang terdengar melainkan suara
pintu menutup, dan seseorang mulai menaiki tangga. Terdengar dentuman
langkah kaki seperti ragu-ragu melangkah dan terseok-seok. Wajah temanku
seperti terkejut kala ia mendengarnya. Ia datang perlahan melintasi
sepanjang lintasan, kemudian terdengar ketukan lemah di ambang pintu.
“Masuk,” Teriakku.
Saat ku persilahkan masuk, kami mengharapkan sesosok pria yang kejam,
seorang wanita tua keriput masuk ke dalam apartemen. Kemunculannya
disilaukan oleh nyala cahaya, dan setelah meletakkan sebuah curtsey, dia
berdiri dan berkedip ke arah kami dengan mata yang muram dan
meraba-raba sakunya dengan nervous serta jari yang gemetar. Aku melirik
rekanku, dan mukanya mengasumsikan semacam ungkapan putus asa dan yang
aku harus kulakukan adalah tetap tenang.
Perempuan tua itu mengeluarkan koran sore, dan menunjuk ke iklan yang
kami buat. “Ini yang membawaku kemari, tuan-tuan yang baik,” katanya,
meletakkan curtsey yang lain; “Cincin kawin emas yang jatuh di Brixton
Road. Cincin itu kepunyaan anak perempuanku, pernikahannya masih berumur
12 bulan, suaminya seoran awak kapal Union, dan apa yang akan
dikatakannya nanti jika ia pu’ pulang dan menemukan isterinya tanpa
cincin ini… tidak bisa ku bayangkan, dia pemarah, terlebih lagi ketika
ia minum minuman keras. Jika anda ragu, dia pergi ke sirkus semalam
bersama dengan–”
“Apakah itu cincin miliknya?” Tanyaku.
“Terimakasih Tuhan!” tangis perempuan tua itu; “Sally akan menjadi perempuan yang bahagia malam ini. Itu cincin nya.”
“Dan di manakah alamat rumah anda?” tanyaku, sambil memungut pensil.
“Duncan Street, no. 13, Houndsditch. Lumayan jauh dari sini.”
“Brixton Road tidak terletak diantara Houndsditch dan sirkus manapun,” Kata Sherlock Holmes dengan tajam.
Wanita tua itu memalingkan muka dan berlutut memperhatikan Holmes dengan
lingkaran merah di mata kecilnya. “Tuan ini menanyakan alamatku,”
katanya.
“Sally tinggal di rumah no. 3, Mayfield Place, Peckham.”
“Dan namamu adalah–?”
“Namaku Sawyer - dan namanya adalah Dennis, Karena Tom Dennis yang
menikahinya - anak laki-laki cerdas dan juga memiliki nama bersih,
sepanjang ia berada di laut, dan di perusahaan itu tidak ada awak kapal
yang melebihinya; tetapi ketika di pantai, sebagian untuk wanita dan
sebagian untuk kedai minuman keras–”
“Ini cincin mu, Mrs. Sawyer,” Aku menyela, menuruti instruksi
rekanku; “Cincin ini jelas kepunyaan putrimu, dan aku senang bisa
mengembalikan cincin ini kepada pemiliknya yang sah.”
Dengan bermacam-macam celotehan pemberi berkat dan ucapan terima
kasih sang wanita tua itu mengemasi cincinnya ke dalam saku, dan
berjalan dengan kaki terseret menuruni tangga. Sherlock Holmes segera
terperanjak setelah nenek itu pergi dan buru-buru menuju ke kamarnya.
Dalam beberapa detik ia kembali dengan bungkusan ulster dan dasi. “Aku
akan mengikutinya,” katanya, dengan tergopoh-gopoh; “dia pasti disuruh,
dan akan membawaku kepadanya. Tunggulah sampai aku pulang.” Pintu aula
terbanting keras, nenek itu sudah berada diluar sebelum Holmes menuruni
tangga. Dari jendela bisa ku lihat dia berjalan di seberang jalan dengan
lemah, selagi sang pemburu membuntutinya tak jauh di belakangnya.
“Pasti salah satu dari teorinya salah,” pikirku, “kalau tidak ia pasti
sudah sampai ke jantung permasalahan.” Tidak ada alasan baginya untuk
memintaku menunggunya sampai pulang, Mustahil rasanya untuk tidur sampai
aku mendengar hasil petualangannya.
Hampir pukul 9 sejak ia meninggalkan rumah. Tidak tahu berapa lama lagi
ia di luar sana, aku duduk diam sambil menghisap pipa ceretuku dan
membaca buku halaman 40 karangan Henri yang berjudul Vie de Boheme.
Sudah jam sepuluh lewat, dan aku mendengar langkah kaki pelayan wanita
yang sedang menuju ke tempat tidurnya. Pukul sebelas, dan terdengar
injakan kaki wanita pemilik pondokan melewati pintuku, dengan tujuan
yang sama. Hampir pukul duabelas sebelum aku mendengar bunyi yang tajam
dari grendel kuncinya. Sekejap ia masuk, ku lihat wajahnya seperti wajah
kegagalan. Perasaan sedih dan rasa senang tampak telihat campur aduk,
dan tiba-tiba ia masuk dengan tertawa.
“Demi kebaikan, sebaiknya aku tidak memberitahu Scotland Yarders tentang
masalah ini,” teriaknya, sambil menjatuhkan diri ke atas kursinya; “Aku
sudah terlalu banyak memperolok mereka, mereka pasti tidak akan
membiarkanku mendengar akhir cerita ini. Aku tertawa, karena aku tahu
bahwa pada akhirnya aku akan bersma-sama mereka.”
“Apa yang terjadi?” Tanyaku.
“Oh, Aku tidak keberatan menceritakan kegagalanku. Makhluk itu
menghilang di jalan sempit ketika dia mulai berjalan pincang dan
menunjukkan tanda-tanda sakit di kakinya. Mendadak dia muncul di sebuah
perhentian, dan samar-samar terlihat di antara kendaraan roda empat yang
sedang lewat. Aku berusaha untuk dekat dengannya agar bisa mendengar
alamatnya, tetapi aku tidak perlu memasang kuping dekat-dekat, karena
suaranya cukup nyaring untuk didengar dari seberang jalan, ‘Tolong antar
ke rumah no. 13, Duncan Street, Houndsditch,’ dia berteriak. Mulai
kelihatan aslinya, aku pikir, dan dia terlihat aman di dalamnya, aku
bertengger di belakang. Itu adalah seni yang harus dimiliki oleh setiap
detektif. Well, kemudian kami berderik. Kami tiba di jalan yang dimaksud
tanpa memperkencang ikatan. Aku meloncat sebelum sampai di depan pintu
ruang tamu dan berjalan di jalan dengan nyantai. Aku lihat kereta kuda
diberhentikan. Si kusir melompat ke bawah, dan aku melihat dia membuka
pintu dengan posisi menanti. Tidak ada seorangpun keluar. Ketika aku
mendekatinya, ia sedang meraba-raba ke sekeliling dengan kebingungan
karena kereta kudanya kosong, dan mengeluarkan koleksi makian terbaik
yang pernah ku dengar. Tidak ada jejak atau tanda-tanda dari
penumpangnya, aku takut dia menghilang sebelum kami berangkat. Pada
rumah Nomor 13 kami menemukan bahwa rumah itu kepunyaan Keswick,
terlihat dari tulisan di depan pintu, dan tak seorangpun pernah
mendengar nama Sawyer maupun Dennis di sana.”
“Maksud mu,” teriakku, dalam kekaguman, “perempuan tua lemah yang
berjalan terhuyung-huyung bisa keluar dari kereta kuda selagi kereta
sedang bergerak, tanpa terlihat olehmu ataupun kusir?”
“Nenek-nenek terkutuk!” Kata Sherlock Holmes, dengan tajam. “Anak muda
itu pasti menyamar. Tidak diragukan lagi, Dia tahu sedang diikuti, dan
berusaha mengecohku. Ini menunjukkan bahwa dia tidak bekerja sendiri,
tidak seperti yang aku membayangkan, Dia punya teman yang siap mengambil
resiko untuknya. Sekarang, Doktor, kau sudah mendengarnya. Turutilah
nasihatku, istirahatlah…”
Aku pasti merasa sangat lelah, maka aku mematuhi nasihatnya. Aku
meninggalkan Holmes duduk di depan perapian, dan sepanjang malam aku
mendengar kemurungan jiwa melengking dari biolanya, dan karenanya aku
tahu bahwa ia masih memikirkan masalah aneh yang masih harus ia
pecahkan.
Bab 6
TOBIAS GREGSON MEMAMERKAN KEBOLEHANNYA
SURAT KABAR hari berikutnya penuh dengan ‘Misteri Brixton,’ begitu
mereka menyebutnya. Masing-Masing memiliki cerita sendiri, dan beberapa
kepala berita ditambah-tambahkan. Ada beberapa informasi yang menurutku
baru. Aku masih menyimpan sejumlah kliping dan intisari mengenai kasus
ini di bukuku. Berikut ini adalah beberapa ringkasannya:
Telegraf harian menyebutkan bahwa dalam sejarah kejahatan, jarang
terjadi tragedi yang menonjolkan orang asing. Nama jerman dari korban,
ketidakhadiran dari semua motif lain, dan ancaman yang tertulis di atas
dinding, semuanya menunjukan tindakan seorang narapidana politik dan
seorang revolusioner. Orang-orang sosialis memiliki banyak pengikut di
Amerika, dan korban adalah salah satunya, tentu saja, meninggalkan
catatan kriminal yang tak tertulis, dan jejak mereka telah dihilangkan.
Sepintas-lalu menurut Vehmgericht, Aqua Tofana, Carbonari, Marchioness
de Brinvilliers, teori Darwinian, prinsip Malthus, dan pembunuhan di
Ratcliff Highway, artikel ini menyimpulkan, dengan anjuran pemerintah
dan advokasi Inggris, untuk berwaspada terhadap orang asing.
Komnetar Standard mengenai fakta ini adalah bahwa ketidakpatuhan pada
hukum biasanya terjadi di bawah pemerintahan Liberal. Mereka muncul dari
penyakit masyarakat, dan kelemehan otoritas. Korban adalah orang
Amerika yang tengah bermukim di sini selama beberapa minggu. Ia tinggal
di rumah sewa Nyonya Charpentier, di Torquay Terrace, Camberwell. Dalam
perjalanannya Ia ditemani oleh sekretaris pribadinya, Mr. Joseph
Stangerson. Keduanya berpamitan kepada wanita pemilik pondokan pada hari
Selasa, tanggal 4, dan pergi ke Setasiun Euston dengan mengatakan bahwa
mereka akan mengejar Liverpool express. Kemudian mereka terilihat
bersama-sama di platform tersebut. Tidak ada yang mengenali mereka
sampai ditemukannya mayat Mr. Drebber, seperti yang tertulis, di dalam
sebuah rumah kosong di Brixton Road, beberapa mil dari Euston. Bagaimana
ia bisa di sana? atau, bagaimana ia bertemu ajalnya? adalah pertanyaan
yang masih menyelubungi misteri ini. Tidak ada yang tahu ke mana
perginya Stangerson. Kita bisa lega mengetahui bahwa Mr. Lestrade dan
Mr. Gregson, dari Scotland Yard, dilibatkan dalam kasus ini, dan yakin
bahwa para petugas terkenal ini akan dengan cepat memberikan pencerahan
terhdap kasus ini.
Surat Kabar Harian ini mengobservasi bahwa kejahatan ini pasti
menyangkut masalah politis. Kesewenang-wenangan dan kebencian
Liberalisme menciptakan pemerintahan kontinental dan telah menimbulkan
efek yang membuat tanah kita dipenuhi sejumlah orang-orang hebat
berstatus warganegara tetap dimana mereka dibenci akibat dari sejarah
yang mereka alami. Di antara orang-orang ini terdapat suatu tanda
penghormatan yang kuat, dan kalau dilanggar hukumannya adalah kematian.
Upaya yang harus dilakukan adalah menemukan sekretarisnya, Stangerson,
untuk memastikan beberapa kebiasaan tertentu korban. Langkah hebat telah
dilakukan dengan mengorek informasi dari alamat rumah sewanya yang mana
seluruhnya berkat energi dan keakutan Mr. Gregson dari Scotland Yard.
Sherlock Holmes dan aku membaca berita ini bersama-sama saat sarapan,
dan tampaknya mereka memberikan hiburan yang cukup pantas. “Sudah ku
bilang kan…, apapun yang terjadi, yang akan mencetak score pasti
Lestrade dan Gregson.”
“Itu tergantung bagaimana hasilnya.”
“Oh, bless you, tidak jadi soal sekecil apapun itu. Jika pelakunya
tertangkap, kasus ini akan menjadi nilai tambah bagi kinerja mereka;
jika lepas, kedengkian akan menyelimuti kinerja mereka. Aku menang dan
kau kalah. Apapun yang mereka lakukan, mereka akan dibantu. ‘Un sot
trouve toujours un plus sot qui l’admire.’”
“Ada apa itu?” teriak ku, karena pada seat itu terdengar sejumlah suara
langkah kaki di dalam aula dan di atas tangga, dibarengi dengan ungkapan
jijik dari wanita pemilik pondokan kami.
“Mereka adalah divisi Baker Street dari satuan detektif kepolisian,”
kata rekanku genting; dan kala ia berbicara terjadi desak-desakkan yang
memenuhi setengah ruangan yang terdiri dari setengah lusin anak jalanan
dan gelandangan-gelandangan beretnis Arab yang pernah ku lihat
sebelumnya.
“‘Perhatian…!” teriak Holmes, dengan nada tajam, dan enam bajingan kecil
berdiri dalam satu barisan seperti patung arca kecil nan buruk rupa.
“Nanti pada waktunya kalian akan mengirim Wiggins sendirian untuk
memberikan laporan, dan sisanya harus menunggu di jalan. Kau sudah
menemukannya, Wiggins?”
“Belum, sir, kami belum menemukannya,” berkata salah seorang dari ank-anak muda itu.
“Aku berharap sekali kau menemukannya. Kau harus terus mencarinya. Ini
gajimu.” Ia memberikan mereka masing-masing satu shilling. “Sekarang,
pergilah kalian semua, dan kembali dengan laporan yang lebih baik di
lain waktu.”
Ia melambaikan tangannya, dan mereka terbirit-birit menuruni tangga
seperti gerombolan tikus, dan kemudian kami mendengar lengkingan suara
mereka memasuki jalanan.
“Masih banyak lagi tugas yang harus dikerjakan Wiggins dibandingkan
teman-temannya,” kata Holmes. “Suatu kekhilafan bagi seorang pejabat -
menyuruh orang untuk menyegel mulut mereka. Anak-anak muda ini, ada di
mana-mana dan dengar segalanya. Pendengaran dan mata mereka setajam
jarum, namun demikian; yang mereka inginkan adalah organisasi.”
“Apakah kau memanfaatkan mereka untuk kasus Brixton ini?” Tanyaku.
“Ya; ada satu hal yang ingin aku pastikan. Itu hanya soal waktu. Hullo!
sekarang kita akan dengar beberapa kabar dengan sebetul-betulnya! Lihat
itu… Gregson sedang berjalan menuju ke sini dengan raut muka bahagia
tertulis di wajahnya. Menuju ke rumah kita, pasti… Ya…, dia berhenti.
Ini dia….!”
Ada suara gemuruh bunyi bel, dan dalam beberapa detik detektif berambut
pirang itu menaiki tangga, tiga langkah serentak, dan tiba-tiba masuk ke
ruang tamu kami.
“Temanku yang baik…,” teriaknya, memeras tangan Holmes yang tak
merespon, “beri aku selamat! Aku sudah membuat keseluruhan masalah cerah
secerah hari ini.”
Terlihat olehku bayangan kegelisahan dari ekspresi wajah rekanku.
“Maksudmu kau sudah menulusuri jejak yang benar?” tanyanya.
“Jejak yang benar! Kenapa, sir, kami sudah menangkap dan mengurung pelakunya.”
“Dan namanya adalah?”
“Arthur Charpentier, sub-lieutenant angkatan laut,” teriak Gregson
dengan sombong sambil menggosok tangan gemuknya dan membusungkan
dadanya.
Sherlock Holmes memberi pandangan ringan dan santai dengan senyuman.
“Duduk lah…, Dan cobalah cerutu ini,” katanya. “Kami tertarik untuk tahu bagaimana kau mengerjakannya. Kau mau whisky dan air?”
“Aku tidak keberatan,” jawab sang detektif. “Usaha yang hebat yang aku
lakukan sepanjang satu atau dua hari terakhir ini membuatku lelah. Tidak
begitu melelahkan sih…, kau tahu, seperti kekuatan pikiran. Kau akan
menghargainya, Mr. Sherlock Holmes, karena kita berdua seorang pemikir.”
“Kau terlalu memujiku,” kata Holmes, dengan genting. “Ceritakan kepada
kami bagaimana kau bisa mencapai hasil yang paling memuaskan ini.”
Kemudian sang Detektif duduk di kursi lengan, dan menggelembungkan asap
cerutunya seperti merasa puas. Kemudian tiba-tiba ia menampar pahanya
kegirangan.
“Lucu sekali…,” teriaknya, “Lestrade yang malang, dia berpikir dirinya
hebat, dia menelusuri jejak yang salah. Ia mengejar sekretaris korban
‘Stangerson’, yang belum pernah melakukan kejahatan apapun seperti bayi
yang belum lahir. Aku yakin ia pasti sudah menangkap sekertaris itu
sekarang.”
Gregson tertawa terkekeh sampai tercekik.
“Dan bagaimana caramu mendapatkan petunjuk?”
“Ah, Tentu saja Aku akan menceritakan semuanya kepadamu, Dr. Watson. Dan
ini di antara kita saja. Kesukaran pertama yang harus lebih dulu kita
hadapi adalah menemukan perusahaan Amerika. Sebagian orang akan menunggu
sampai iklan mereka dijawab, atau sampai segerombolan orang datang
untuk memberikan informasi cuma-cuma. Tapi itu bukan gayaku bekerja. Kau
ingat topi yang ada di samping korban?”
“Ya,” kata Holmes; “by John Underwood and Sons, 129, 129, Camberwell Road.”
Gregson sungguh terlihat sangat kecewa.
“Aku tidak menyangka kau mengingatnya,” katanya. “Kau sudah ke sana?”
“Belum.”
“Ha!” teriak Gregson, dengan suara lepas; “Seharusnya kau jangan menyepelekan sebuah peluang, sekecil apapun itu.”
“Untuk berfikir hebat, jangan menganggap sesuatu itu kecil,” kata Holmes, dengan singkat dan padat.
“Well, aku pergi ke Underwood, dan menanyakan apakah mereka pernah
menjual topi dengan ukuran seperti itu. Ia memeriksa bukunya, dan
kembali dengan segera. Ia pernah mengirim topi itu kepada Mr. Drebber,
bertempat tinggal di Charpentier’s Boarding, Torquay Terrace. Kemudian
aku mengambil dan mencari alamat yang diberikannya.”
“Cerdas sekali… sungguh cerdas…!” bisik Sherlock Holmes.
“Berikutnya Aku menghubungi Madame Charpentier,” lanjut detektif
tersebut. “Ketika aku bertemu dengannya, keadaannya sangat menderita dan
pucat. Putrinya berada di ruangan itu juga - seorang anak perempuan
yang luar biasa sehat, namun juga; matanya merah dan bibirnya bergetar
ketika aku berbicara kepadanya. Tak luput dari perhatianku, aku mulai
untuk menaruh curiga. Kau tahu perasaan itu kan.., Mr. Sherlock Holmes,
ketika kita menelusuri jejak yang benar - semacam kegelisahan melanda
jiwa. ‘Sudahkah kau mendengar tentang kematian misterius dari mantan
anak kosmu Mr. Enoch J. Drebber, dari Cleveland?’ Tanyaku.
“Sang ibu mengangguk. Nampaknya dia tidak mampu berkata apa-apa.
Putrinya tiba-tiba menangis. Aku semakin yakin orang-orang ini
mengetahui sesuatu mengenai pembunuhan itu.
“‘Pada pukul berapa Mr. Drebber meninggalkan rumahmu untuk pergi ke stasiun?’ Tanyaku.
“‘Pukul delapan,’ katanya, seperti meneguk sesuatu ke dalam
kerongkongannya untuk menjaga pergolakan jiwa. ‘Sekretarisnya, Mr.
Stangerson, berkata bahwa akan ada dua kereta - satu pada pukul 9:15 dan
satunya lagi pada pukul 11. Dan ia akan menumpang kereta yang pertama.’
“‘Dan kapan terakhir kau melihatnya?’
“Perubahan mengerikan terjadi di wajahnya ketika aku menanyakan
pertanyaan itu. Raut wajahnya memucat. Ada beberapa detik sebelum dia
bisa mengucapkan sesuatu ‘Ya’ - dan ketika dia mengucapkannya suaranya
menjadi parau, nada yang tidak wajar.
“Terjadi keheningan untuk beberapa saat, dan kemudian putrinya berbicara
dengan suara tenang, dan jelas. “‘Tidak baik berbohongan, ibu,’
katanya. ‘Berterus teranglah kepada tuan ini. Kami pernah melihat Mr.
Drebber.’ “‘Tuhan memaafkan mu!’ teriak Madame Charpentier, melemparkan
tangannya ke atas dan kembali ke kursinya. ‘kau telah membunuh saudara
laki-laki mu.’
“‘Arthur lebih suka kalau kita mengatakan kebenaran,’ anak perempuan itu menjawab dengan kuat.
“‘Lebih baik kau ceritakan segalanya sekarang,’ Kataku. ‘cerita
setengah-ssetengah lebih buruk dari pada tidak sama sekali. Di samping
itu, kau tidak tahu sebanyak yang kami tahu.’
“‘Terserah mu, Alice!’ teriak ibunya; dan kemudian, mulai berbalik ke
arahku, ‘Aku akan menceritakan semuanya kepada mu, sir. Jangan harap
sikap ketakutanku seperti ini menyebabkan nama putraku terbawa-bawa
dalam kengerian ini. Ia sepenuhnya tidak bersalah. Ketakutanku adalah,
kalau-kalau di matamu maupun di pandangan orang lain menganggap bahwa ia
mungkin telah membuat semcam perjanjian. Apapun ceritanya, mustahil
terjadi. Akhlaknya yang baik, profesinya, sejarah prilakunya tidak
memungkinkan dia melakukan hal-hal terlarang.’
“‘Jalan terbaik bagimu adalah mengakui semua fakta,’ Jawabku.
‘Tergantung padanya, jika putramu tidak bersalah ia akan tetap di sini.’
“‘Barangkali, Alice, sebaiknya kau tinggalkan kami berdua di sini,’ kata
perempuan itu, dan putrinya menurutinya. ‘Sekarang, sir,’ dia
melanjutkan, ‘Aku tidak berniat menceritakan semua ini kepadamu, tetapi
karena putriku yang malang telah menyingkapnya aku tidak punya pilihan
lain. Sekali memutuskan untuk bicara, aku akan menceritakan semuanya
kepadamu tanpa menyembunyikan apa-apa lagi.’
“‘Ini adalah keputusanmu yang paling bijaksana,’ kataku.
“‘Mr. Drebber tinggal bersama kami selama hampir tiga minggu. Ia dan
sekretarisnya, Mr. Stangerson, tengah bepergian berkeliling Benua Eropa.
Aku melihat label Copenhagen di celana pendek mereka masing-masing,
label itu menunjukkan tempat persinggahan mereka terakhir. Stangerson
adalah orang yang tenang, dan pendim, biarpun begitu majikannya, maafkan
kata-kataku, berbeda sekali dengannya. Ia orang yang kasar dan tidak
berperikemanusiaan. Tiap malam dia pulang dalam keadaan mabuk, dan,
tentu saja, setelah jam duabelas malam bisa dibilang hari-harinya tidak
pernah tertata. Tatakrama kepada pelayan wanita memualkan. Dan yang
paling buruk dari itu semua, dia menerapkan sikap itu kepada putriku,
Alice, dan berbicara kepadanya dengan tidak sopan lebih dari satu kali,
kebetulan, Alice terlalu lugu untuk memahaminya. Pada suatu saat ia
benar-benar memeluk Alice. Kejadian itu menyakiti hati sekretarisnya
sendiri dan memaksa sekertaris itu mencelanya atas tindakannya yang
tidak jantan.’
“‘Tetapi mengapa kau diam saja?’ Tanyaku. ‘Ku rasa kau bisa mengusir
anak kosmu jika kau mau.’ Mrs. Charpentier menjadi malu atas
pertanyaanku. ‘Aku bermohon kepada Tuhan, setiap hari dari hari pertama
ia datang aku selalu memberinya peringatan,’ katanya. ‘Tetapi godaan itu
teramat sakit. Mereka membayarku satu pound per hari dan 14 pound
seminggu, dan sekarang sedang musim serba susah. Aku seorang janda, dan
anak laki-lakiku bekerja di Angkatan laut dan ia sudah banyak
mengeluarkan biaya untukku. Aku enggan menghabiskan uang itu. Aku harus
melakuan yang terbaik. Bayaran mereka terlalu besar, sehingga aku
bersedia menampung mereka dengan bayaran seperti itu. Itulah alasan
mengapa mereka masih tinggal di sini.’”
‘Well?’
“‘Jiwaku lega ketika melihat dia datang. Putraku baru saja mengambil
cutinya, tetapi aku tidak menceritakan apapun kepadanya, karena sifatnya
yang pemarah, dan ia juga sangat menyayangi adik perempuannya. Ketika
aku menutup pintu sekilas aku merasa beban di pikiranku sedikit
menghilang. Kemudian sirna kembali, ketika lebih kurang dari satu jam
terdengar bunyi bel, dan aku sadar bahwa Mr. Drebber telah kembali. Ia
lebih bergairah, tentu saja karena minuman keras. Ia teroyong-oyong
masuki ke ruangan, dan ketika itu aku sedang duduk bersama putriku, dan
dengan membuat komentar yang tidak logis tentang ketinggalan kereta.
Kemudian ia mengarah ke Alice, dan di depan mataku, dia merayu putriku.
“Kau sudah cukup umur,” katanya, “dan tidak ada hukum yang melarangmu.
Aku punya cukup banyak uang untuk dibagi. Tak usah pedulikan perempuan
tua ini, ikutlah denganku sekarang. Kau akan hidup seperti seorang
putri.” Alice yang malang menjadi sangat ketakutan dan bersembunyi untuk
menjauhi laki-laki itu, tetapi ia menangkap pergelangan tangannya dan
mencoba menyudutkannya ke arah pintu. Aku menjerit, dan pada saat itu
putraku Arthur datang ke ruangan itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi
kemudian. Aku mendengar makian dan suara perkelahian. Aku terlalu takut
mengangkat kepalaku. Ketika mataku terbuka aku melihat Arthur berdiri di
pintu masuk dan tertawa, dengan tongkat di tangannya. “Aku kira orang
ini tidak akan mengganggu kita lagi,” katanya. “Aku akan mengejarnya dan
melihat apa yang akan dilakukannya.” Dengan kata-kata itu ia mengambil
topinya dan mulai turun ke jalan. Pagi berikutnya kami mendengar berita
kematian misterius Mr. Drebber.’
“Mrs. Charpentier mengeluarkan statemen ini langsung dari mulutnya namun
dengan hembusan nafas yang terputus-putus. Kadang-Kadang dia berbicara
dengan nada yang sangat rendah sehingga aku sulit untuk mengerti apa
yang ingin dia sampaikan. Walaupun demikian aku telah membuat catatan
stenografi atas semua yang dikatakannya, kemungkinan tidak ada
kekeliruan.”
“Sungguh menarik,” Kata Sherlock Holmes, sambil menguap. “Apa yang terjadi selanjutnya?”
“Ketika Mrs. Charpentier berhenti,” lanjut sang detektif, “Aku menyadari
inti dari keseluruhan kasus ini. Aku memandang simpatik ke wanita
tersebut seperti yang selalu aku lakukan kala berhadapan dengan wanita,
aku menanyakan kepadanya pukul berapa putranya kembali.
“‘Aku tidak tahu,’ jawabnya.
“‘Tidak tahu?’
“‘Tidak; ia punya kunci rumah ini, dan ia bisa masuk tanpa membangunkan kami.’
“‘Setelah kau pergi tidur?’
“‘Ya.’
“‘Kapan kau tidur?’
“‘Sekitar pukul sebelas.’
“‘Jadi putra mu pergi lebih dari dua jam?’
“‘Ya.’
“‘Atau mungkin empat-lima jam?’
“‘Ya.’
“‘Apa ia lakukan selama itu?’
“‘Aku tidak tahu,’ dia menjawab, seluruh bibirnya memucat.
“Tentu saja, setelah itu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Aku segera
mendapat informasi di mana Letnan Charpentier waktu itu, aku membawa
dua petugas bersamaku, dan menangkapnya. Ketika aku menyentuh bahunya
dan memperingatkannya untuk ikut bersama kami dengan tenang, ia menjawab
dengan tidak sopan, dia berkata ‘Biarku tebak…, kau pasti menangkapku
untuk kasus kematian si bajingan Drebber.’ Kami bahkan belum
menyebut-nyebut soal pembunuhan kepadanya, jadi itu menandakan ia patut
dicurigai.”
“Sudah semuanya,” kata Holmes.
“Ia masih membawa tongkat berat seperti yang dideskripsikan ibunya -
ketika dia menyusul Drebber. Tongkat keras yang terbuat dari pohon ek.”
“Lalu, bagaimana teorimu?”
“Well, teori ku adalah bahwa ia mengikuti Drebber sepanjang Brixton
Road. Ketika tiba di sana, terjadi perkelahian di antara mereka,
mengakibatkan Drebber menerima pukulan dari tongkat itu, barangkali di
sekitar pusar perut, yang menyebabkan dia terbunuh tanpa meninggalkan
tanda apapun. Malam itu jalanan menjadi sangat basah dan tak ada
seorangpun di sekitar mereka, sehingga Charpentier menyeret mayat
korbannya ke dalam rumah kosong. Mengenai lilin, darah, tanda peringatan
di dinding, dan cincin, boleh jadi sebagai muslihat untuk mengacaukan
penyelidikan polisi.”
“Bagus sekali!” kata Holmes dengan nada memberi harapan. “Sungguh,
Gregson, kau sudah berusaha sejauh ini. Kami masih ingin mendengar
ceritanya lagi.”
“Aku yakin sudah menanganinya dengan rapi,” jawab sang detektif, dengan
bangga. “Anak muda itu menyampaikan sebuah statemen dengan suka rela,
katanya setelah mengikuti Drebber selama beberapa waktu, Drebber merasa
diikuti, dan menyetop kereta kuda untuk meloloskan diri darinya. Dalam
perjalanan pulang dia bertemu dengan teman sekapalnya dahulu, dan jalan
bersama-sama dengan dia. Ketika ditanyai di mana teman sekapalnya
tinggal, ia tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Ku pikir
keseluruhan kasus sangat sesuai. Hal yang membuat ku tertawa adalah apa
yang ada di kepala Lestrade, dia mengikuti petunjuk yang salah. Aku
takut ia tidak mengakui kekalahannya. Kengapa…, demi Tuhan, inilah
kekurangan dirinya!”
Tentu saja itu Lestrade, yang menaiki tangga selagi kami sedang
berbicara, dan memasuki ruang. Ayem dan periang yang biasanya menandai
tingkah laku dan pakaiannya, walupun begitu, terasa lain. Wajahnya
dipenuhi pikiran kusut dan keresahan, sedang pakaiannya kusut dan
berantakan. Jelas sekali ia datang dengan niat untuk berkonsultasi
dengan Sherlock Holmes, karena merasa rekan kerjanya telah
mempermalukannya. Ia berdiri di tengah-tengah ruangan, meraba-raba
topinya dengan gugup dan tak tahu harus berbuat apa. “Ini kasus yang
paling aneh,” pada akhirnya dia berbicara - “kasus yang paling sulit
dimengerti.”
“Ah, kau menemukan nya, Mr. Lestrade!” teriak Gregson, seperti
memenangkan sesuatu. “Ku pikir kau datang ke sini untuk sebuah
kesimpulan. Sudahkah kau menemukan dan menangani si sekretaris, Mr.
Joseph Stangerson?”
“Si sekretaris, Mr. Joseph Stangerson,” kata Lestrade, dengan genting,
“dibunuh di Halliday’s Private Hotel sekitar pukul enam pagi ini.”
Bab 7
CAHAYA DALAM KEGELAPAN
HASIL penyelidikan yang di sampaikan Lestrade merupakan informasi
yang sangat penting dan mengejutkan bagi kami bertiga sungguh tak
terduga. Gregson terperanjak dari kursi dan menumpahkan sisa whisky dan
airnya. Aku terbelalak pada Sherlock Holmes dalam kesunyian, bibirnya
tertekan dan di atas matanya terlihat keningnya mengkerutan.
“Stangerson juga!” ia berkomat-kamit. “Alur cerita semakin rumit.”
“Sebelumnya sudah cukup rumit,” gerutu Lestrade, sambil menarik kursi.
“Tampaknya aku harus menyerahkan kasus ini ke mahkamah militer.”
“Apa kau - Apa kau yakin atas hasil penyelidikan ini?” kata Gregson dengan suara yang gagap.
“Aku baru saja dari kamarnya,” kata Lestrade. “Aku orang pertama yang melihat apa yang telah terjadi.”
“Kita telah mendengar pandangan Gregson menyangkut kasus ini,” Holmes
mengamati. “Maukah kau memberithau kami apa yang sudah kau lihat dan
melakukan?”
“Aku tak keberatan,” jawab Lestrade, dari tempat duduknya. “Ku akui
bahwa aku sependapat dengan opini tentang Stangerson menyangkut kematian
Drebber. Perkembangan baru kasus ini membuktikan bahwa perkiraanku
sepenuhnya salah. Dengan satu gagasan, aku ingin tahu apa yang terjadi
pada sang sekretaris. Mereka tadinya terlihat bersama-sama di Euston
Station sekitar pukul setengah sembilan pada malam ke tiga. Paginya,
pada pukul dua, Drebber ditemukan tewas di Brixton Road. Pertanyaan yang
ada di kepalaku adalah apa yang sedang dikerjakan Stangerson antara
pukul 8:30 sampai dengan waktu terjadinya pembunuhan, dan setelahnya.
Aku mengirim telegraf ke Liverpool, dan memberikan deskripsi mengenai
orang ini, dan memperingatkan mereka untuk mengawasi kapal Amerika itu.
Kemudian aku melanjutkan penyelidikanku dengan menghubungi semua hotel
dan rumah penginapan di sekitar Euston. Kau tahu kan…, aku beranggapan
jika Drebber dan rekannya telah terpisah, secara naluriah mereka akan
mencari penginapan terdekat untuk satu malam, dan kemudian melanjutkan
perjalanan esok paginya.”
“Mungkin mereka janjian bertemu di suatu tempat,” kata Holmes.
“Jadi itu membuktikan, kerja kerasku semalam cuma buang-buang waktu
saja. Pagi ini aku bangun pagi-pagi sekali, dan pada jam delapan aku
pergi ke Halliday’s Private Hotel, di Little George Street. Dalam
pemeriksaanku, mereka langsung menjawab bahwa Mr. Stangerson sedang
menginap di sana.
“‘Tidak salah lagi…, kaulah orang yang sedang ditunggu-tunggunya,’ kata
mereka. ‘Dia sedang menantikan seseorang selama dua hari ini.’
“‘Di mana dia sekarang?’ Tanyaku.
“‘Dia ada di atas di kamarnya. Ia ingin ditemui pukul sembilan.’
“‘Aku akan naik dan segera menjumpainya,’ Kataku.
“Dalam benakku…, mungkin kedatanganku yang tiba-tiba akan membuatnya
panik dan dengan spontan mengatakan sesuatu yang seharusnya
dirahasiakannya. Sang pelayan menunjukkan kamarnya dengan senang hati;
yaitu di lantai dua, dan di sana ada koridor kecil yang mengarah ke
kamar itu. Sang pelayan menunjukkan ku pintunya, dan kembali ke lantai
bawah lagi ketika aku melihat sesuatu yang membuatku merasa mual,
walaupun aku sudah berpengalaman duapuluh tahun. Dari bawah pintu
terlihat lengkungan pita merah sedikit bercak darah, yang meliuk-liuk ke
seberang lintasan pintu dan membentuk kumpulan kecil di sepanjang sudut
bawah dibalik pintu. Aku berteriak dan sang pelayanpun datang. Ia pun
hampir pingsan ketika melihatnya. Pintu dikunci dari dalam, dan kami
mendobraknya dengan bahu kami. Jendela ruangan terbuka, dan di sebelah
jendela, berjubel sesosok tubuh manusia yang sedang memakai baju tidur.
Ia benar-benar mati, dan sudah tergeletak untuk beberapa waktu, karena
anggota badanya dingin dan kaku. Ketika kami memutar mayat itu, sang
pelayan langsung mengenalinya sebagai pria yang menyewa kamar dengan
mengunakan nama Joseph Stangerson. Penyebab kematiannya adalah tikaman
yang sangat dalam di sisi kiri dada yang menembus jantungnya. Dan
sekarang bertambah lagi bagian teraneh dari kasus ini. Menurutmu apa
tujuan pembunuhan orang ini?”
Bulu-kudu ku berdiri, dan muncul firasat kengerian, bahkan sebelum Sherlock Holmes menjawab.
“Kata RACHE, yang ditulis dengan darah,” katanya.
“Begitukah…,” kata Lestrade, dengan suara penasaran dan kaget; dan kami semua diam untuk beberapa saat.
Ada sesuatu yang begitu teratur dan begitu sulit dimengerti atas
perbuatan dari pembunuh tak dikenal ini, yang memberikan suatu gambaran
mengerikan atas kejahatannya. Kegelisahanku bertitik berat pada medan
pertempuran, terasa gatal ketika aku mengingatnya.
“Pelakunya terlihat oleh,” lanjut Lestrade. “seorang bocah…, yang
berjalan sepanjang jalan setapak yang berasal dari kandang kuda di
belakang hotel. Ia tahu bahwa tangga, yang biasanya tergeletak di sana,
telah diangkat menghadap jendela di tingkat dua yang terbuka lebar.
Katanya, setelah dia melewati tangga itu, ia berbalik dan melihat
seseorang menuruni tangga. Ia turun dengan tenang dan nyantai, anak itu
mengira orang itu adalah tukang kayu atau pembuat mebel yang sedang
bekerja di hotel. Ia tidak sadar…, terlalu sulit baginya untuk menyadari
bahwa terlalu awal bagi seseorang untuk bekerja. Anak itu
mendeskripsikan pelakunya sebagai seorang yang jangkung, memiliki muka
kemerah-merahan, dan bermantel panjang bewarna kecoklat-coklatan.
Setelah membunuh, pastinya, dia masih berada di ruang itu untuk beberapa
saat, berdasarkan penemuan noda darah di dalam baskom dan di seprai,
menandakan bahwa pelakunya telah mencuci tangannya di baskom dan
membersihkan pisaunya dengan seprai.”
Aku melirik Holmes yang tengah mendengar deskripsi si pembunuh yang sama
persis dengan teorinya. Ada, walupun demikian, tidak terlihat
tanda-tanda kegembiraan yang meluap-luap atau kepuasan di mukanya.
“Apakah kau tidak menemukan apapun, di ruang itu, yang mengarah ke si pembunuh?” ia bertanya.
“Tidak ada. Stangerson menyimpan dompet milik Drebber di sakunya, tetapi
tampaknya wajar, mengingat dia yang selalu melakukan setiap pembayaran.
Ada 80 pound lebih di dalamnya, dan tidak ada yang diambil. Apapun
motif dari kasus aneh ini, tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
perampokan. Tidak ada surat ataupun peringatan di dalam saku Stangerson,
kecuali sebuah telegram, dari Cleveland tertanggal satu bulan yang
lalu, dan berisi kata-kata, ‘J.H. ada di Eropa.’ Tidak tertera sebuah
nama di pesan ini .”
“Dan, apa ada yang lainnya di sana?” tanya Holmes.
“Tidak ada yang penting. Novel milik korban, yang mungkin dibacanya
sewaktu akan tidur, tegeletak di atas tempat tidur, dan pipanya berada
di atas kursi sebelahnya. Ada segelas air di atas meja, dan di ambang
jendela terdapat sebuah kotak kecil seperti kotak salep yang berisi
sepasang pill.”
Sherlock Holmes terperanjak dari kursinya dengan seruan kesenangan.
“Mata rantai terakhir,” teriaknya, dengan sangat gembira. “Kasusku sudah lengkap sekarang.”
Dua detektif tersebut terbelalak melihatnya dalam kekaguman.
“Sudah ditanganku sekarang,” kata rekanku, dengan penuh percaya diri,
“semua uraian yang membentuk kekusutan ini. Tentu saja, ada detil yang
harus diisi, tetapi aku yakin pada semua peristiwa pokok, dari waktu
Drebber berpisah dengan Stangerson di setasiun, sampai pada penemuan
surat di mayat Stangerson, seolah-olah aku melihat mereka dengan mataku
sendiri. Aku akan memberimu bukti pendapatku. Bisa kau meletakkan pil
itu di tanganmu?”
“Ya…, ini dia,” kata Lestrade, mengeluarkan kotak kecil putih; “Aku
mengambilnya, dompet dan juga telegram, untuk disimpan ke tempat yang
aman di kantor polisi. Kebetulan aku sempat membawa pil ini, karena aku
mengakatakan kepada mereka bahwa aku tidak menganggap pil-pil ini
penting.”
“Letakkan pil-pil itu di sini,” kata Holmes. “Sekarang, Doktor,” berbalik ke arahku, “Apakah ini pil biasa?”
Jelas bukan pil-pil biasa. Pil-pil ini berwarna kelabu seperti mutiara,
kecil, bulat, dan hampir transparan jika diterawang. “Dari cahaya dan
ketransparanan nya, Aku bisa membayangkan pil-pil ini bisa larut di
dalam air,” Kataku.
“Tepat sekali,” jawab Holmes. “Sekarang, maukah kau ke bawah dan
menjemput setan kecil yang malang, sejenis anjing, yang sudah berbaring
begitu lama, dan kemarin kau dimintai tolong oleh wanita pemilik
pondokan kita untuk menghilangkan penderitaannya?”
Aku pergi ke lantai bawah dan kembali ke atas dengan membawa anjing
dalam pelukanku. Nafasnya dan tatapan matanya menunjukkan dia
sehat-sehat saja. Tentu saja, moncongnya yang seputih salju
memproklamirkan bahwa dia sudah tidak seperti anjing lagi. Aku
meletakkannya di bantal di atas permadani.
“Sekarang aku akan membelah dua salah satu pil ini,” kata Holmes, sambil
menarik pisau lipatnya seperti yang ia katakan. “Separuhnya kita
masukkan kembali ke dalam kotak untuk lain hari. Separuhnya lagi akan ku
masukkan ke dalam gelas wine ini, dan air sesendok teh penuh. Jika
teman kita, doktor, benar, pil ini akan larut.”
“Ini mungkin sangat menarik,” kata Lestrade, dengan nada seperti
tersangka yang terluka karena habis ditertawakan; “Aku tak mengerti, apa
ini berkaitan dengan kematian Mr. Joseph Stangerson.”
“Sabar, temanku, sabar! kau akan tahu pada waktunya bahwa ini berkaitan
dengan segalanya. Sekarang aku akan menambahkan sedikit susu untuk
membuatnya terasa enak, dan memberikannya ke anjing ini, kita bisa lihat
ia sudah siap menjilatnya.”
Seperti yang dikatakannya ia menuangkan isi gelas wine ke dalam cawan
dan menaruhnya di depan anjing, yang dengan cepat anjing itu
menjilatinya sampai kering. Tindakan Sherlock Holmes yang
sungguh-sungguh sejauh ini meyakinkan kami dan kami semua duduk dalam
kesunyian, dengan serius menyaksikan binatang itu, dan mengharapkan efek
yang mengejutkan. Tak ada tanda-tanda seperti yang diharapkan. Anjing
tetap berbaring di atas bantal, bernafas seperti biasa, tetapi
kelihatannya sirkulasi udaranya tidak semakin baik maupun semakin buruk.
Holmes mengeluarkan arlojinya, dan menit ke menit berlalu tanpa hasil,
ungkapan perasaan sedih karena gagal dan kecewa muncul di raut wajahnya.
Ia menggigiti bibirnya, menghentak-hentakan jarinya di atas meja, dan
menunjukkan semua gejala ketidaksabaran dan kegentingan lainnya. Sungguh
tertekan emosinya dan aku merasa kasihan kepadanya, sedang kedua
detektif tersenyum mengejek, bukan karena dikeecewakan oleh tes yang
dilakukan Holmes.
“Tidak mungkin sebuah kebetualan,” pada akhirnya dia berteriak, berdiri
dari kursinya dan melompat-lompat liar di dalam ruangan; “tidak mungkin
ini pasti kebetulan semata. Pil-pil yang kucurigai dalam kasus Drebber,
setelah kematian Stangerson, benar-benar sudah ditemukan. Tetapi pilnya
tidak bekerja. Apa arti semua ini? Tidak mungkin rantai pemikiranku bisa
salah. Ini mustahil! Dan anjing sakit ini masih tetap sehat. Ah, aku
tahu! Aku tahu!” Dengan pekikan kesenangan yang sempurna dengan cepat ia
menandatangani kotak itu, membelah pil lain menjadi dua, melarutkannya,
menambahkan ke susu, dan meminumkannya ke anjing tadi. Lidah makhluk
yang bernasib sial itu kelihatan jelas lembab di dalamnya sebelum dia
kejang-kejang, dan tergeltak kaku tak bernyawa seperti terasambar kilat.
Sherlock Holmes menarik nafas dalam-dalam, dan menghapus keringat dari
jidatnya. “Harusnya aku lebih yakin,” katanya; “Mulai sekarang aku mesti
tahu bahwa ketika sebuah fakta tampak berlawanan dengan rentetan
pengambilan keputusan, tetap saja bisa diuji dengan interpretasi
lainnya. Tentang kedua pil di dalam kotak itu, satuya adalah racun yang
paling mematikan, dan yang lain sepenuhnya tidak mematikan. Seharusnya
aku tahu lebih awal sebelum aku melihat kotak itu.”
Statemen terakhir ini membuatku terkejut, aku sulit percaya bagimana
bisa pikiran sehatnya tertata seperti itu. Kematian si Anjing
membuktikan bahwa dugaannya benar. Tampaknya kabut di dalam pikiranku
secara berangsur-angsur memudar, dan aku mulai berpersepsi samar-samar
menyangkut kebenarannya.
“Semuanya tampak asing bagimu,” lanjut Holmes, “sebab dari awal kau
gagal menyelidiki petunjuk paling penting yang ada di depan matamu. Aku
beruntung bisa menyadarinya, dan segalanya sudah terjadi sejak aku
memberikan konfirmasi perkiraan awalku, dan, tentu saja, menjadi urutan
logis tentangnya. Karenanya hal-hal yang membingungkanmu dan membuat
kasus ini lebih kabur malah menerangiku dan memperkuat kesimpulanku.
Keliru sekali mencampuradukkan keadaan tidak dikenal ke dalam misteri.
Kasus kriminal yang kebanyakan terjadi di tempat umum lebih misterius
lagi, sebab tidak bisa menghadirkan petunjuk baru maupun khusus dimana
sebuah keputusan dapat diambil. Pembunuhan ini akan lebih sulit lagi
jika mayat korban ditemukan tergeletak di jalanan tanpa ada orang di
jalan atau saksi yang menjadikannya luar biasa. Detil Aneh ini, jauh
dari kata sulit, dan benar-benar sudah membuat sedikit lebih mudah.”
Mr. Gregson, yang mendengarkan pidato ini amat tidak sabar, tidak bisa
menahan dirinya lebih lama. “Perhatian, Mr. Sherlock Holmes,” katanya,
“kita benar-benar mengakui kecerdasanmu, dan caramu bekerja. Lagi pula,
sekarang kita ingin sesuatu yang lebih dari sekedar teori. Ini tentang
menangkap seseorang. Aku sudah menjalankan tugasku, dan tampak aku salah
tangkap. Charpentier Muda tidak bisa dikaitkan dengan kasus ke dua ini.
Lestrade mengikuti sekertarisnya, Stangerson, dan nampaknya dia juga
salah orang. Kau sudah mengungkapkan semua yang tersembunyi di sini, dan
di sana, dan nampaknya kau lebih tahu dari apa yang kami lakukan,
tetapi kami rasa sudah saatnya untuk bertanya langsung kepadamu berapa
banyak kau tahu menyangkut urusan ini. Dapatkah kau menyebutkan sebuah
nama yang melakukan ini semua?”
“Aku terpaksa harus mengakatan bahwa Gregson benar, sir,” kata Lestrade.
“Kami berdua sudah berusaha, dan gagal. Kau sudah berkata lebih dari
sekali sejak aku berada di ruang ini kau punya semua bukti yang kau
perlukan. Pastinya kau tidak akan menahannya lebih lama lagi.”
“Hal apapun yang menyebabkan penundaan penangkapan pembunuh ini,” Aku
mengamati, “memberinya waktu untuk melakukan kekejian lainnya.”
Tekanan dari kami semua, menimbulkan tanda-tanda keraguan Holmes. Ia
tetap mondar-mandir di ruangan dengan kepalanya menunduk menghadap
dadanya dan keningnya seperti tertarik ke bawah, seperti kebiasaannya
ketika kehilangan semangat.
“Tidak akan ada lagi pembunuhan,” pada akhirnya ia berkata, tiba-tiba
berhenti dan menghadap ke kami. “Kau bisa menempatkan pertimbangan ini
di luar pertanyaan. Kau bertanya kapadaku jika aku tahu nama si
pembunuh. Aku bersedia. Semata-mata tahu namanya adalah hal kecil, lebih
dari itu, bandingkan dengan kekuasaan yang dapat kita lakukan
terhadapnya. Hal inilah yang secepatnya ingin ku lakukan. Aku punya
harapan besar untuk memanage nya dengan rencanaku sendiri; tapi
memerlukan penanganan yang lunak, karena kita berhadapan dengan orang
yang pintar, licik, dan nekat, dia dibantu oleh seseorang, seperti yang
telah aku buktikan sendiri, seseorang yang sepintar dirinya. Sepanjang
orang ini tidak tahu orang lain memiliki petunjuk dirinya maka mereka
punya kesempatan untuk berlindung; tetapi jika ia punya kecurigaan
setipis apapun, ia akan merubah namanya, dan segera lenyap di antara
empat juta penduduk kota besar ini. Tanpa maksud untuk mepermalukan
siapapun, aku harus mengatakan bahwa orang-orang ini lebih dari sekedar
lawan tanding satuan petugas, dan oleh karena itu aku belum minta
bantuan kalian. Jika aku gagal, tentu saja, aku bisa memastikan semua
kesalahan penyebab kehilangan ini; tetapi itu yang aku wanti-wanti.
Sekarang aku bisa menjanjikan sesuatu, dengan segera aku bisa
berkomunikasi dengan kalian tanpa membahayakan rencanaku sendiri, aku
akan melakukannya.”
Gregson dan Lestrade nampaknya tidak puas terhadap janji-janji ini, atau
sindiran yang ditujukan kepada detektif polisi. Yang satu
menggaruk-garuk kepala sampai ke akar rambut pirangnya, yang satunya
lagi menunjukkan matanya yang bulat bercahaya berkilauan dengan
kemarahan dan kecurigaan. Terdengar ketukan pintu, kemudian terdengar
suara Wiggins muda berbicara dengan logat Arabs, memperkenalkan dirinya
yang kecil dan tidak enak untuk dipandang sehingga membuat kedua
detektif tersebut tidak punya kesempatan untuk berbicara.
“Please, sir,” katanya, sambil menyentuh rambut di dahinya, “Kereta kudanya sudah sampai.”
“Anak baik,” kata Holmes, dengan lemah lembut. “Kenapa kalian tidak
memperkenalkan disain barang ini ke Scotland Yard?” ia melanjutkan,
sambil mengambil sepasang borgol baja dari laci. “Lihatlah betapa
indahnya kerajinan logam ini. Alat ini mudah sekali digunakan.”
“Disain yang lama sudah cukup baik,” kata Lestrade, “Jika kita bisa menemukan pembunuh ini dan memborgolnya.”
“Benar sekali, benar sekali,” kata Holmes, tersenyum. “Pak kusir mungkin
mau membantu untuk mengangkat kotakku. Wiggins…, mintalah kepada pak
kusir untuk membawanya ke atas.”
Aku terkejut melihat rekanku berkata seolah-olah ia bersiap-siap
melakukan perjalanan, karena ia tidak pernah berkata apapun kepadaku
tentang hal ini. Ada sebuah portmanteau kecil di dalam ruang, dan
dicabutnya dan mulai diikat dengan tali. Dia sibuk mengikat benda itu
ketika pak kusir memasuki ruang.
“Bantu aku dengan gesper ini, kusir,” katanya, sambil berlutut mengerjakan pekerjaannya, tanpa memutar kepalanya.
Orang yang datang barusan mendekatinya dengan ekspresi cemberut dan
menantang kemudian membantu Holmes. Dengan segera terdengar jelas suara
klik bahan logam, dan Sherlock Holmes terperanjak berdiri lagi.
“Tuan-Tuan,” teriaknya, dengan mata bercahaya, “Mari ku perkenalkan
kepada kalian semua pembunuh Enoch Drebber dan Joseph Stangerson, Mr.
Jefferson Hope.”
Semuanya terjadi dengan tiba-tiba sampai aku tidak menyadarinya. Sekejap
aku teringat gambaran, ungkapan gembira Holmes dan deringan suaranya,
kebingungan kusir, bermuka bidab, kala ia membelalak di cahaya belenggu,
yang kelihatannya seolah-olah keajaibanlah yang membuatnya diborgol.
Selama satu atau dua detik kami terdiam seperti sekelompok patung.
Kemudian dengan raungan amukan tak jelas, pembunuh itu meronta mencoba
membebaskan dirinya dari genggaman Holmes, dan melemparkan dirinya ke
arah jendela. Perabot-perabot dan kaca penghias ruangan menghalangi
geraknya; namun sebelum dia benar-benar menerobos jendela, Gregson,
Lestrade, dan Holmes langsung bergerak seperti kawanan anjing. Ia
diseret kembali ke ruang, dan kemudian dimulailah konflik yang hebat.
Dengan sekuat tenaga dan demikian sengit kami berempat berulang-ulang
merangkul dia agar tidak lepas. Kelihatannya ia memiliki kekuatan
mengelepar seperti penderita epilepsi.
Tangan dan mukanya terkoyak-koyak karena mencoba melewati kaca, tapi
kehilangan darah tidak berpengaruh ataupun mengurangi perlawanannya.
Sampai Lestrade berhasil mencekik pergelangan lehernya yang membuatnya
sadar bahwa perjuangannya sia-sia; bahkan kami merasa belum aman jika
belum mengikat kakinya seperti halnya tangannya. Setelah selesai, kami
berdiri dengan napas dan suara terengah-engah.
“Kita tahan kereta kudanya,” Kata Sherlock Holmes. “Keretanya akan kita
gunakan untuk mengirim dia ke Scotland Yard. Dan sekarang, tuan-tuan,”
lanjutnya, dengan senyuman yang sedap dipandang, “Kita sudah sampai di
akhir misteri kecil kita. Sekarang kalian bisa menanyakan kepadaku
apapun yang kalian suka, dan jangan takut kalau-kalau aku berkeberatan
menjawabnya.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar